Buku Tamu

UNDANG-UNDANG TELEKOMUNIKASI partisipasi publik dan

Diposkan oleh revolterdie


pengaturan setengah hati

Oleh
Hinca IP Pandjaitan, SH., MH
Media Law Ombudsperson


INTERNEWS INDONESIA

Februari 2000

1

Kata Pengantar

Pemahaman tentang telekomunikasi dalam hubungannya dengan pemberdayaan media elektronik di Indonesia, khususnya dalam memahami frekuensi sebagai nadi kehidupan utama bisnis ini, mendorong para pelaku bisnis media elektronik harus memahami Undang-undang Telekomunikasi. Selain, karena saat ini Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, juga disebabkan sedikitnya buku yang membahas tentang telekomunikasi dari sisi partisipasi publik terhadap kehadiran Undang- undang Telekomunikasi. Itulah sebabnya Media Law Department Internews Indonesia memandang perlu untuk menerbitkan buku ini.
Selain mengupas mengapa Undang-undang Telekomunikasi yang baru ini dihadirkan, materi muatan yang dibahas dalam buku ini juga menyentuh partisipasi publik dalam memberikan warna pembahasan RUU Telekomunikasi. Di samping itu, karena tidak berselang lama sebelum RUU Telekomunikasi dibahas Pemerintah telah mengeluarkan Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia, ---sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang Telekomunikasi---- maka buku ini juga membahasnya sebagai satu kesatuan.
Materi pokok yang disampaikan dalam uraian buku ini adalah bagaimana para pembaca secara mudah memahami isi Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Hal ini penting, karena sistem pengaturan legal formal perundang- undangan di Indonesia terkesan “ruwet”dan susah dipahami sekalipun oleh para sarjana hukum. Bahkan terkesan tidak tuntas karena masih sengaja “disisahkan”untuk dibahas dan diatur kembali dalam peraturan pelaksanaan lanjutan, mulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri. Sehingga menjadi sangat beralasan jika kemudian “kebanyakan”undang-undang yang dihasilkan, termasuk Undang-undang Telekomunikasi “menyisahkan”dan “memberikan cek kosong” kepada Pemerintah untuk membuat aturan pelaksanaannya. Seharusnya, cara-cara demikian harus sudah ditinggalkan.
Pada bagian akhir buku ini, penulis akhirnya berkesimpulan bahwa sesungguhnya proses pembahasan RUU Telekomunikasi masih sebatas pengaturan setengah hati.
Disadari bahwa buku ini masih sangat jauh dari sempurna, tetapi diyakini bahwa buku ini paling tidak memberikan warna dan alternatif bagi pembaca, bagaimana sebenarnya partisipasi publik diberikan ke DPR RI untuk menghasilkan undang-undang yang sungguh- sungguh memenuhi harapan semua elemen bangsa. Karena itu, kritik tajam dan membagun mendapat tempat yang pantas dalam upaya memperbaiki segala kekurangan yang ada.
Kepada semua pihak yang sudah membantu dalam proses penyelesaian buku ini disampaikan terimakasih, utamanya untuk Christiana Chelsia Chan, SH., dan Louis Carl Schramm, SH Media Law Assistant, Media Law Department Internews Indonesia atas kerjasamanya dan Kathleen Reen, Direktur Internews Indonesia yang memberikan kesempatan atas terbitnya buku ini.

Jakarta, 8 Februari 2000



Hinca IP Pandjaitan, SH., MH
















2

BAB SATU
RUU Telekomunikasi Baru

A. Umum
Kehadiran RUU Telekomunikasi di DPR RI dilakukan melalui Amanah Presiden RI Nomor R.24/PU.IV/99 tanggal 23 April 1999 kepada Ketua DPR RI. Pembahasan secara singkat langsung dilakukan. Pembicaraan Tingkat I berupa Keterangan Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Perhubungan dilakukan pada tanggal 12 Juli 1999 dalam Rapat Paripurna DPR RI. Pembahasan selanjutnya dilakukan ke Pembicaraan Tingkat III berupa pembahasan atas RUU Telekomunikasi dengan menggunakan prosedur singkat (short cut), mulai tanggal 12 Juli sampai dengan 29 Juli 1999 dengan komposisi kenggotaan Komisi IV DPR RI sebagai berikut. Pilihan sistem short cut ini diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR RI. Total anggota Komisi IV DPR RI yang membahas RUU Telekomunikasi adalah 64 anggota, dengan rincian 8 orang dari Fraksi ABRI, 43 orang dari Fraksi KP, 11 orang dari Fraksi PP dan 1 orang dari Fraksi PDI. Pembicaraan Tingkat IV berupa pengambilan keputusan atas RUU Telekomunikasi tanggal 25 Agustus 1999. Persetujuan terhadap RUU Telekomunikasi diambil tanggal 25 Agustus 1999 dalam sidang pariprna untuk kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan DPR RI Nomor 3/DPR- RI/I/1999-2000. Selanjutnya, dengan Surat Ketua DPR RI Nomor 01/3184/DPR RI/1999 tanggal 25 Agustus 1999, yang berisi tentang persetujuan atas RUU Telekomunikasi tersebut diserahkan ke Presiden untuk diundangkan.1

B. Alasan Pemerintah Mengubah UU Telekomunikasi2
Dari uraian yang disampaikan pemerintah, diketahui bahwa sesungguhnya RUU Telekomunikasi sudah disiapkan sejak tahun 1996. Pemerintah berpandangan bahwa dalam mewujudkan peranan telekomunikasi tidak dapat lagi dipisahkan dari hakekat telekomunikasi yang berdimensi global dan berkembang dengan sangat pesat. Dengan demikian pengaruh global sangat terasa dan tidak mungkin ditolak. Perubahan global ini dalam kaitannya dengan penyelenggaraan telekomunikasi perlu diperhatikan, setidaknya karena beberapa sebab.
1. beralihnya fungsi telekomunikasi dari utilitas menjadi komoditi perdagangan sebagaimana telah diatur dalam kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Beralihnya fungsi telekomunikasi tersebut juga mengakibatkan perubahan dan terjadinya transformasinya struktur pasar telekomunikasi dari monopoli ke persaingan. Perubahan ini sejalan pula dengan semangat Indonesia yang bertekad untuk meninggalkan sistem monopoli dan pindah ke sistem persaiangan sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan perubahan ini, maka terbuka bagi berpartisipasinya masyarakat dalam pembangunan pertelekomunikasian Indonesia. Sebagai antisipasi terhadap kebutuhan investasi yang sangat besar, maka diperlukan peningkatan peran serta swasta sebagai investor sarana dan penyelenggara jasa telekomunikasi. Dengan adanya kesepakatan WTO tersebut, maka sejak tahun 1998 dasar hubungan dalam bidang telekomunikasi dunia berubah dari bilateral menjadi multilateral. Tiap negara anggota WTO, termasuk Indonesia harus memenuhi komitmennya untuk segera meliberalisasi jasa telekomunikasi dasarnya yang didokumentasikan dalam “Jadwal Komitmen tentang Telekomunikasi Dasar” (Schedule of Commitments on Basic Telecommunication).


1 Lihat Risalah Rapat Proses Pembahasan RUU Telekomunikasi, tanpa tanggal, tanpa bulan dan tanpa tahun.
2 Lihat Keterangan Pemerintah dalam Mengantar RUU Telekomunikasi tanggal 12 Juli 1999.



3

2. Sesuai dengan prinsip-prinsip perdagangan global yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri secara penuh untuk menyesuaikan industri pertelekomunikasiannya. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka peran pemerintah akan makin berkurang dan akan lebih mengarah sebagai penentu kebijakan, pengatur, pengawas dan pengendali di bidang telekomunikasi, sedangkan masyarakat akan memikul tanggang jawab yang lebih besar dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
3. Perkembangan teknologi digital yang maju dengan sangat pesat menciptakan jenis-jenis jasa yang mengaburkan batas-batas jasa telekomunikasi yang dikategorikan ke dalam jasa dasar dan jasa non dasar. Penggunaan teknologi digital ini ternyata telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi, fleksibilitas dan efektivitas biaya dan menambah keanekaragaman jasa baru yang menghasilkan konvergensi antara telekomunikasi, komputer dan penyiaran berupa multimedia, termasuk internet.
Dengan tiga alasan ini, Pemerintah berpandangan bahwa harus segera diantisipasi dan tanggap secara cepat dan tepat untuk memanfaatkan momentum ini dalam upaya mendorong dan memajukan pertelekomunikasian nasional, sebagai tahap awal menuju masyarakat informasi (information society). Itulah sebabnya, perubahan secara menyeluruh terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 harus segera dilakukan.
Dari uraian di atas, secara substansial ada 3 (tiga) materi perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), yaitu:
1. penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi dibedakan atas jasa telekomunikasi dasar dan telekomunikasi bukan dasar, tetapi dibedakan menjadi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
2. Penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi hanya diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Telekomunikasi, tetapi dapat diselenggarakan pula oleh Badan Hukum lain (Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Negara/Swasta maupun Koperasi). Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga penyelenggara telekomunikasi tidak lagi menganut perinsip monopoli.
3. Mewajibkan kepada setiap penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi memberikan kontribusi dalam pelayanan di daerah yang belum berkembang atau belum terlayani jaringan telekomunikasi yang merupakan penugasan dari Pemerintah (Universal Service Obligation/USO).
Ketika draft RUU Telekomunikasi yang disampaikan Pemerintah kepada DPR RI c.q. Komisi IV DPR RI dipilah ke dalam Daftar Isian Masalah, menjadi 365 buah. Dalam mekanisme pengisian Daftar Isian Masalah ini, ternyata Fraksi PDI sama sekali tidak menggunakan haknya, sedangkan Fraksi ABRI mengisi 138 buah Daftar Isian Masalah, Fraksi Karya Pembangunan menggunakan haknya dengan mengisi 120 buah Daftar Isian Masalah dan Fraksi Persatuan Pembangunan menggunakan haknya mengisi 29 buah Daftar Isian Masalah. Seluruh Daftar Isian Masalah ini umumnya bersifat pertanyaan dan meminta penjelasan saja. Sebaliknya, materi yang lebih substansial sangat kecil.
Dari hasil Daftar Isian Masalah ini ternyata, sama sekali tidak berimbang gagasan dan pemikiran yang disampaikan oleh keempat fraksi ketimbang naskah yang disampaikan oleh Pemerintah. Sekalipun Komisi IV DPR RI sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan beberbagai asosiasi dan masyarakat dan menerima begitu banyak namun kenyatannya, tidak banyak hal yang dimasukkan ke dalam Daftar Isian Masalah itu. Bahkan, dapat dikatakan beberapa masukan yang dianggap vital yang disampaikan asosiasi ke Komisi IV sama sekali tidak terekam. Apalagi Fraksi PDI yang sama sekali tidak mengisi Daftar Isian Masalah. Sekalipun, Fraksi BRI, Fraksi KP dan Fraksi PP menggunakan atau mengisi Daftar Isian Masalah, namun umumnya hanya bersifat klarifikasi belaka. Perdebatan sama sekali tidak terjadi, sebaliknya berjalan sangat mulus dan memakan waktu sangat singkat, hanya 13 hari kerja untuk menyelesaikan 365 Daftar Isian Masalah. Namun demikian jika




4

ditelusuri Laporan Ketua Komisi IV3 dalam Pembicaraan Tingkat IV tanggal 25 Agustus
1999, dinyatakan secara tegas bahwa secara keseluruhan RUU Telekomunikasi terdiri dari IX Bab dan 62 Pasal, terdiri dari 210 butir Inventarisasi Masalah dibahas secara maraton siang dan malam yang pada akhirnya menghasilkan IX Bab dan 64 Pasal. Burhanuddin Napitupulu4 secara tegas menyatakan bahwa pembahasan materi dalam Rapat Kerja Komisi dilakukan dengan sangat mendalam, memerlukan waktu yang panjang, penuh dialog politis dan ilmiah, serta kecermatan tinggi. Namun demikian, dari pengalaman penulis di lapangan, yang secara langsung mengikuti proses pembahasan RUU Telekomunikasi perdebatan yang terjadi lebih merupakan retorika belaka tanpa menyentuh secara dalam substansi masalah. Hal ini dapat dilihat secara mudah apa yang dihasilkan sebagai hasil akhir jika dibandingkan dengan konsep awal RUU Telekomunikasi. Hal ini wajar saja terjadi, selain karena Pemerintahlah yang lebih menguasai termasuk para ahlinya, sebaliknya DPR RI lebih bersifat politis saja, karena memang DPR RI adalah lembaga politis. Tidak banyak perubahan yang dapat diperjuangkan oleh Komisi IV DPR RI dalam upaya memajukan konsep-konsep yang diajukan masyarakat ke dalam RUU Telekomunikasi. Padahal masukan yang diberikan masyarakat sangat beragam dan berwarna.

C. Partisipasi Publik dalam Pembahasan RUU Telekomunikasi
Secara legal formal, acapkali diagendakan pembahasan suatu undang-undang, DPR RI selalu mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menjaring dan menerima masukan dari masyarakat. Bagi DPR RI, RDPU ini diyakini sebagai salah satu wahana untuk menumbuhkembangkan proses demokratisasi dengan memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi publik, utamanya para pelaku telekomunikasi itu.
Ketika era reformasi dimulai, 21 Mei 1998, partisipasi publik dalam turut serta memberikan “warna” dalam proses demokrasitisasi di Indonesia mulai menunjukkan tanda- tanda yang baik. Warna itu juga termasuk di bidang proses legislasi, sesuatu yang “tidak lazim” ketika sebelum era reformasi. Dari sekitar empatpuluhan undang-undang yang dihasilkan pada masa pemerintahan transisi, ada beberapa undang-undang yang pembahasannya di DPR RI mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat, misalnya UU Pers dan UU Telekomunikasi. Khusus untuk UU Telekomunikasi, bentuk perhatian dan pastisipasi yang diberikan masyarakat disalurkan melalui organisasi dan asosiasi, dengan menyampaikan pokok-pokok pikiran ke DPR RI, khususnya Komisi IV.
Dalam proses pembahasan RUU Telekomunikasi di DPR RI, yang dalam hal ini dilakoni oleh Komisi IV DPR RI menerima begitu banyak aspirasi dari masyarakat sebagai wujud nyata pelaksanaan demokratisasi sebagai simbol pemberdayaan konsep masyarakat madani. Partisipasi publik itu, dapat diuraikan sebagai berikut.
Dari catatan penulis, yang secara langsung mengkuti proses pembahasan RUU Telekomunikasi di DPR, terdapat beberapa asosiasi atau organisasi yang menyampaikan pandangan dan harapannya. Sebut saja, Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (MASTEL), Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), PRSSNI, APNATEL, dan lain sebagainya.
Berangkat dengan kondisi partisipasi publik yang besar ini, rasanya menjadi cukup beralasan untuk menuliskan pandangan dan harapan mereka terhadap RUU Telekomunikasi. Apakah harapan dan pandangan itu terakomodir dengan baik di dalamnya, atau hanya sekedar persyaratan formal saja bahwa DPR RI telah melakukan tugas dengan baik secara formal. Pertanyaan kritis ini menjadi penting, karena persoalan yang akan diatur dalam RUU Telekomunikasi adalah sesuatu yang bersentuhan dengan hajat hidup orang Indonesia kebanyak, utamanya pensuplai informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Asumsi awal yang dapat diketengahkan dalam rangkaian partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Telekomunikasi masih dalam koridor “pelengkap penderita”. Ini menunjukkan bahwa DPR RI ---dalam hal ini Komisi IV ---- baru sekedar “mendengar” dan


3 Lihat Laporan Ketua Komisi IV DPR RI, Burhanuddin Napitupulu.
4 Lihat Laporan Ketua Komisi IV DPR RI, Burhanuddin Napitupulu.



5

“mengundang” partisipasi publik dalam kemasan Rapat Dengar Pendapat Umum secara legal formal, tetapi tidak kuat “melawan” kehendak politis Pemerintah.

D. Catatan tentang Pokok Pikiran MASTEL terhadap RUU Telekomunikasi5
D.1. Catatan Umum
Sebagai suatu organisasi nirlaba yang memiliki dukungan keanggotaan dari kalangan yang sangat luas, termasuk asosiasi-asosiasi, perusahaan-perusahaan pelaku yang berkecimpung dan atau berminat kepada pertelekomunikasian, perusahaan penyelenggara jasa, kontraktor dan konsultan, universitas, pakar, dan lain sebagainya, Mastel memberikan catatan kritis dan tajam terhadap materi RUU Telekomunikasi.
Mastel mengawali catatan kritisnya dengan menyatakan sebuah contoh yang sangat valid dalam menunjukkan betapa telekomunikasi mempunyai peran penting dalam mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum 7 Juni 1999 yang lalu adalah contoh fenomental yang paling pas untuk menggambarkan betapa dasyatnya fungsi telekomunikasi.Dalam melayani masyarakat yang ingin mengikuti proses dan hasil perhitungan suara, misalnya, jasa telekomunikasi bergabung, berintegrasi, dengan jasa pelayanan Internet; jasa penyiaran televisi, jasa pengiriman data elektronis melalui saluran data yang akhirnya ditampilkan di layar kaca serentak pada semua saluran jasa penyiaran televisi serta pada layar-layar komputer peserta Internet dalam bentuk multi-media. Menurut Mastel, ini adalah merupakan bukti semakin mendekatnya teknologi dan jasa telekomunikasi, penyiaran dan aplikasi komputer. Contoh ini, hanya merupakan satu diantara demikian banyak pertanda, bahwa di dunia ini, begitu pula dalam kehidupan nasional kita di Indonesia, ada tiga bidang yang semakin saling terkait, tak terbendungkan, yaitu teknologi dan jasa telekomunikasi, penyiaran, dan informasi. Gejala ini lazim disebut konvergensi. Dengan begitu, sekalipun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi akan segera digantikan, tetapi ia telah memberikan baktinya dalam memberikan kontribusi bernegara, berbangsa dan bermasyarakat selama 10 tahun. Namun demikian, harus diakui bahwa melihat begitu cepat berkembangnya teknologi, melihat begitu intensifnya globalisasi bidang perdagangan jasa yang terjadi, melihat begitu bergairahnya sektor swasta dalam menerjuni sektor telekomunikasi, penyiaran dan jasa-jasa lain berdasarkan teknologi informasi, kiranya sudah tiba waktunya, bahkan sudah dirasakan sangat urgen dan mendesak untuk sesegera mungkin menata kembali pertelekomunikasian nasional dengan melihat jauh kedepan melalui RUU Telekomuniasi yang baru.
Ada beberapa perihal penting yang harus dicatat dan tidak dapat diabaikan dalam proses pembahasan RUU Telekomunikasi, yaitu:
• Mengakui (recognize) konvergennya tiga bidang: telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi, sehingga segenap tatanan nasional perlu sesuai dan serasi dengan semakin konvergennya ketiga bidang tersebut;

• Membangun masyarakat Indonesia modern dan demokratis hanya dapat terwujud dengan membangun masyarakat informasi (information society) yang bertumpu pada sistem telekomunikasi nasional yang tangguh, sehingga perlu diciptakan kesempatan- kesempatan yang luas untuk mewujudkannya.;

• Dalam pada itu dalam membangun sistem telekomunikasi nasional, yang diarahkan adalah terpeliharanya kepentingan nasional dalam arti luas;

• Peran pemerintah dalam suatu demokrasi yang modern dibatasi pada penentuan arahan- arahan dalam bentuk kebijaksanaan. Namun demikian kebijaksanaan tersebut haruslah


5 Lihat Kata Pengantar Ketua Umum MASTEL, Ir. Sukarno Abdulrachman, IPM pada Acara Dengar Pendapat dengan
Komisi IV DPR RI tentang RUU Telekomunikasi, tanggal 28 Juni 1999.






6

kebijaksanaan yang tegas, tidak tumpang tindih dan menampung aspek konvergensi. Dimana pelaksanaan pada tataran pengaturan dilakukan secara sangat profesional yang dibantu oleh kemampuan-kemampuan yang ada di sektor swasta;

• Penataan manajemen bidang frekuensi radio yang sangat profesional dan, melalui peraturan pelaksanaan yang diturunkan dari Undang-undang tentang telekomunikasi, menghindari berbagai hambatan, antara lain pemusatan birokrasi;

• Peran swasta yang luas, semakin mampu dan diharuskan bersaing, tidak hanya dalam percaturan bisnis jasa dalam negeri, dan yang didukung oleh Sumber Daya Manusia yang terlatih, terdidik sesuai keperluan yang berkembang;

• Perlindungan kepada konsumen yang jelas dan terinci, baik ia konsumen akhir maupun konsumen antara (konsumen antara adalah penyelenggara jasa telekomunikasi dan informasi yang menjadi konsumen jasa-jasa telekomunikasi penyelenggara lain)

Jika ditelusuri draft RUU Telekomunikasi yang ada, dirasakan bahwa nuansa-nuansa reformasi, kompetisi dan perubahan ke arah sektor telekomunikasi yang sehat telah terlihat di dalamnya. Selain itu, Cetak Biru Telekomunikasi yang mulai disusun sejak beberapa waktu yang lalu dan sekarang ini diadakan pembahasan lanjutan secara intensif, memberikan gambaran dan arah yang lebih jelas mengenai masa depan sektor telekomunikasi Indonesia yang efisien dan efektif. Namun demikian, secara gamblang terlihat bahwa ada empat hal yang belum tertuang secara memuaskan dalam RUU Telekomunikasi, yaitu (a) perihal konvergensi; (b) perihal Regulator sebagai pelaksana harian kebijaksanaan pemerintah; (c) perihal Peranan Masyarakat, dan (d) tentang Sumber Daya Manusia.

Ad.a. Konvergensi antara telekomunikasi, teknologi informasi dan prnyiaran
UU tentang Telekomunikasi yang baru hendaknya mengakomodasi konvergensi antara teknologi dan jasa telekomunikasi, informasi/ informatika dan penyiaran, sebagai phenomena yang tidak terhindarkan. Pengakuan adanya konvergensi tersebut lebih memudahkan pemerintah dalam mengembangkan kebijaksanaan dan mengarahkan pengaturan yang lebih komprehensif. Agar dapat mengadakan akomodasi tersebut antara lain diperlukan penambahan dalam “pengertian-pengertian”, serta perubahan dalam batang-tubuh serta pada “Penjelasan”, terutama pada bab tentang “Penyelenggaraan”.
Di saat perkembangan teknologi yang sudah maju dan semakin maju di masa mendatang maka bidang Telekomunikasi, Teknologi Informasi dan Penyiaran sudah semakin menjadi satu dan tidak lagi ada batasnya yang jelas. Contoh aplikasi yang saat ini sudah berkembang adalah konvergensi Telekomunikasi dan Teknologi Informasi dalam aplikasi Voice Over Internet Protocol (VOIP), konvergensi Penyiaran dan Telematika misalnya siaran Televisi melalui saluran telefoni, termasuk Internet dan lain sebagainya.
Sejak berdirinya forum Internasional bidang telekomunikasi ITU (International Telecommunications Union), penyiaran dalam aspek teknis operasional, standar dan lain-lain ditangani oleh ITU, sehingga secara urutan regulasi internasional, penyiaran merupakan bagian dari telekomunikasi
Pengalaman Indonesia memperlihatkan bahwa koordinasi merupakan hal yang langka. Pada kesempatan pembahasan RUU Telekomunikasi disampaikan bahwa telah tercapai momentum yang penting jika dapat mengkoordinasikan sektor penyiaran dan telekomunikasi pada tingkat Undang-undang.
Apabila masalah konvergensi ini tidak diantisipasi dan ditangani sejak dini, Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menghadapi perubahan teknologi dan globalisasi di sektor telekomunikasi dan penyiaran, jika pengaturan kedua sektor terkotak-kotak.
Fungsi lain yang telah dan sejak dahulu selalu berhubungan adalah misalnya pembagian alokasi frekuensi sebagai sumber alam yang terbatas untuk penggunaan Telekomunikasi dan Penyiaran (Televisi dan Radio). Konvergensi ketiga bidang akan lebih memudahkan pemerintah dalam pengaturan kebijaksanaan dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi seluruh pemain yang terlibat (termasuk konsumen).



7


dalam:

Alternatif pengaturan konvergensi telekomunikasi dan informatika bisa dicakup


• Satu undang-undang , yaitu UU Telekomunikasi. Dalam hal ini MASTEL berusaha memasukkan perbaikan konseptual yang dapat membuka jalan untuk menangani serta mengatur tentang konvergensi antara telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi (komputer) dengan sebaik-baiknya.
• Dua undang-undang, yaitu UU Telekomunikasi dan UU Media Massa. Dalam hal ini perlu kerjasama sangat intensif untuk menjamin adanya persamaan konsep. Kombinasi antara kedua pendekatan di atas, dimana bagian Penyiaran dari Undang-
undang Media Massa dikeluarkan, untuk diadopsi ke dalam Undang-undang
Telekomunikasi, untuk menghasilkan Undang-undang Telekomunikasi dan Informatika.

Ad.b. Lembaga Pengatur (Regulator) sebagai pelaksana harian kebijaksanaan pemerintah Dalam era kompetisi dan dengan meningkatnya peran swasta selaku penyelenggara jaringan atau jasa telekomunikasi (era multi-operator) peran lembaga pengatur untuk menjalankan fungsi reguasi, pengawasan dan pengendalian yang bersifat sangat profesional dan “independent” sangat diperlukan untuk menjamin terdapatnya perlindungan konsumen, lingkungan persaingan yang adil, serta tercapainya tujuan pembangunan telekomunikasi di Indonesia. Peran lembaga pengatur yang independent dapat ditemukan di berbagai negara di dunia dan nampaknya akan menjadi pola baku, walaupun dalam berbagai wujud, model dan
nuansa masing-masing.
Dalam era kompetisi dimana terdapat multi-operator, peran regulator independen sangat diperlukan untuk menjamin terdapatnya perlindungan konsumen dan terciptanya lingkungan persaingan yang adil, serta tercapainya tujuan pembangunan telekomunikasi di Indonesia.
Perlu dipisahkan antara fungsi kebijakan dan fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian sektor telekomunikasi.
Fungsi kebijakan tetap harus berada di tangan pemerintah, dalam hal ini menteri yang menangani bidang telekomunikasi. Sedangkan untuk melaksanakan kebijakan, yaitu pengaturan, pengawasan dan pengendalian sektor telekomunikasi, diperlukan Regulator Independen yang kompeten.
Regulator Independen akan menghasilkan stabilitas dan kepercayaan yang diperlukan oleh para pemain di sektor telekomunikasi, sekaligus melindungi masyarakat Indonesia.
Hubungan antar lembaga Regulator Independen dengan pihak lain harus diatur sedemikian rupa sehingga Regulator Independen tidak berpihak pada pihak manapun. Syarat utama dari kelembagaan Regulator Independen adalah:
• Regulator Independen harus terpisah dari operator
• Regulator Independen sebaiknya terpisah dari pemegang saham. Melihat kondisi saat ini di Indonesia dimana Pemerintah juga merupakan pemegang saham utama dari PT. TELKOM dan PT. Indosat, maka sulit untuk mendapatkan peran regulator yang independen bila pemerintah masih terlibat dalam fungsi regulator . Hal ini dapat diatasi dengan adanya peraturan pemerintah yang jelas mengenai status dan kedudukan Regulator Independen.
• Pelaksanaan kebijakan dituntun oleh Undang-Undang, dimana Menteri Sektoral berfungsi memberi arahan, namun tidak mencampuri urusan sehari-hari pelaksanaan regulasi.
Adanya peran Regulator Independen ini telah terlihat di dalam “cetak biru” (blue print)
telekomunikasi Indonesia.

Ad. c. Perihal peranan masyarakat
Konsepsi tentang peranan dan peran serta masyarakat dalam ikut menentukan perkembangan telekomunikasi nasional akan memberikan warna yang sangat progresif dalam RUU Telekomunikasi. Kecenderungan yang dapat disaksikan dalam pertelekomunikasian di dunia memperlihatkan bahwa para profesional yang semakin beragam keahliannya berada di “luar”, namun sebagai mitra “dekat” dengan pemerintah. Tantangan eksternal seperti globalisasi (kesepakatan internasional),



8

perkembangan teknologi (konvergensi) dan perkembangan aspek ekonomi (kompetisi, aliansi) dalam berbagai hal yang lebih teknis-operational menuntut adanya kesepakatan dari dan antar fihak pelaku- pelaku bidang telekomunikasi sendiri demi untuk menemukan aturan-main sendiri. Oleh karena itu diusulkan adanya satu FORUM untuk memfasilitasi tercapainya sinergi dalam mencapai tujuan kebijaksanaan sektor telekomunikasi sebagai konsepsi tentang pelaksanaan peranan masyarakat. Usulan Ini selaras dengan pikiran yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pasal 31 sampai dengan pasal 34 tentang Masyarakat Jasa Konstruksi, dengan modifikasi-modifikasi seperlunya. Pengejawantahan konsepsi ini perlu dilakukan dalam pasal-pasal dalam batang-tubuh RUU Telekomunikasi. Karena itu peranan pelaku sektor telekomunikasi dalam ikut menentukan aturan teknis operasional pertelekomunikasian di Indonesia (industry-self regulatory) menjadi sangat penting.
Deregulasi sektor telekomunikasi berarti pula trend ke arah “pemerintahan kecil” (small government) dimana para profesional yang semakin beragam keahliannya berada di “luar” namun “dekat” dengan pemerintah.
Kecenderungan di dunia adalah pemerintah sedapatnya menyerahkan hal-hal yang bisa diputuskan oleh pihak industri untuk diatur oleh mereka sendiri. Konsensus pihak industri dapat diakui dan ditingkatkan sebagai standard nasional, dengan persetujuan pemerintah. Dengan istilah “industri” dimaksudkan segenap pelaku-pelaku bisnis dalam sektor ini.
Berbagai tantangan ekternal seperti globalisasi (kesepakatan internasional);
perkembangan teknologi (konvergensi telekomunikasi dan teknologi informasi) dan ekonomi
(kompetisi, aliansi strategis), menuntut adanya kesepakatan dari pihak industri sendiri untuk menentukan aturan main mereka.
Industry-self regulatory dapat dibuat atas inisiatif pelaku telekomunikasi, atau sesuai dengan permintaan pemerintah.
Peraturan-peraturan yang mungkin ditentukan sendiri oleh para pelaku sektor telekomunikasi meliputi interkoneksi, standarisasi, kode etik antar penyelenggara jasa, kode etik terhadap konsumen, dsb.
Diperlukan suatu forum untuk memfasilitasi berbagai unsur pelaku telekomunikasi untuk mencapai sinergi dalam mencapai tujuan kebijakan sektor telekomunikasi.

Ad.d. Perihal Sumber Daya Manusia
Penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya dalam bentuk-bentuk untuk keperluan dan konsumsi publik, perlu ada persyaratan usaha, keahlian dan ketrampilan dari Sumber Daya Manusia atau para pelaku dalam sektor. Apalagi dengan globalisasi dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yang di dalamnya terkandung pula pergerakan lintas-batas dari angkatan kerja (workforce) dari dan ke seluruh penjuru dunia, maka kualitas Sumber Daya Manusia yang berkecimpung dalam usaha pertelekomunikasian di Indonesia (dalam berbagai disiplin, dan tingkat keahlian serta ketrampilan) harus senantiasa dipelihara dan dijaga. Untuk hal tersebut, faktor Sumber Daya Manusia sektor telekomunikasi perlu diperkuat keberadaannya di dalam UU tentang Telekomunikasi yang akan datang. Diusulkan agar perihal persyaratan sumber daya manusia ditampilkan dalam satu pasal dalam batang tubuh RUU Telekomunikasi. Seharusnya dapat dipahami suatu konsepsi tentang kualitas usaha, keahlian dan ketrampilan seperti yang tertuang dalam Pasal 8 Undang-undang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999, dan mengharapkan konsepsi yang sama diterapkan pula pada RUU Telekomunikasi.
Mengingat kompleksitas sektor telekomunikasi, perlu adanya persyaratan usaha, keahlian dan ketrampilan dari pelaku sektor telekomunikasi.
Pelaku sektor telekomunikasi yang berbentuk badan usaha harus memenuhi ketentuan tentang perijinan usaha di sektor telekomunikasi, memiliki sertifikat, klasifikasi,dan kualifikasi yang ditentukan oleh peraturan pemerintah.
Sertifikasi Sumber Daya Manusia juga sangat penting bagi Indonesia untuk dapat bersaing secara global, karena setelah era pasar bebas, sertifikasi adalah salah satu persyaratan penting bagi sumber daya manusia maupun perusahaan Indonesia, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan di negara lain. Sertifikasi di Indonesia merupakan langkah persiapan bagi kiprah sumber daya manusia Indonesia di era globalisasi.



9

Selain itu, catatan penting yang lebih merupakan penekanan juga diberikan terhadap RUU Telekomunikasi dalam hubungannya dengan upaya menyelaraskan undang-undang yang akan dihasilkan sebagai produk pembahasan di DPR-RI ini dengan Cetak Biru Telekomunikasi yang sedang dalam penyusunan.

D.2. Catatan Khusus
Mastel memberikan catatan secara lengkap terhadap materi muatan RUU Telekomunikasi sebagai berikut. Dalam bagian Konsiderans RUU Telekomunikasi ternyata berapa kata kunci belum terdapat pada RUU Telekomunikasi yang dapat mengakomodasi lima hal penting . Kata-kata kunci yang disarankan untuk dapat dimasukkan pada konsideran “Menimbang” adalah kata-kata yang mengandung nuansa (i) konvergensi; (ii) pemantapan peran pemerintah sebagai penentu bijaksanaan dan administrasi telekomunikasi; (iii) peran regulator independen sebagai badan pengaturan, pengawasan dan pengendalian; (iv) peran masyarakat dalam ikut menentukan arah serta pemecahan isu-isu teknis/operational dalam pembangunan telekomunikasi Indonesia; dan (v) pentingnya kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan telekomunikasi masa depan. Karena itu, diusulkan agar konsiderans point c diubah menjadi bahwa penyelenggaraan telekomunikasi sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi global terutama teknologi digital yang mengakibatkan pertautan dan konvergensi telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi, dan karenanya terjadi perubahan yang mendasar dalam wawasan penyelenggaraan telekomunikasi.
Pada bagian Batang Tubuh, khususnya Ketentuan Umum mengenai Pengertian perlu ditambahkan definisi tentang konvergensi, dan perbaikan definisi penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Konvergensi adalah bersatunya layanan telekomunikasi, teknologi informasi (komputer) dan penyiaran. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaaan dan/atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi melalui media apa saja, termasuk televisi siaran, radio siaran dan multimedia untuk umum.
Pada bagian Pembinaan perlu ditambahkan yang mengatur tentang Regulator Independen. Menteri bertindak sebagai penanggungjawab atas penetapan kebijaksanaan sektor telekomunikasi Indonesia, sedangkan pengaturan, pengawasan dan pengendalian bidang telekomunikasi dilimpahkan kepada badan independen sebagai regulator telekomunikasi Indonesia. Regulator Independen dapat meminta pelaku sektor telekomunikasi untuk merumuskan aturan main antar pelaku sektor telekomunikasi dan mengusulkan rumusan tersebut untuk diberlakukan secara nasional. Ketentuan mengenai regulator telekomunikasi Indonesia diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pada bagian Penyelenggaraan jaringan telekomukasi, perlu ditambahkan kalimat yang mengatur konvergensi. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi dapat dilakukan melalui media apa saja, termasuk televisi siaran dan radio siaran dan multimedia untuk umum oleh:
a. Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Negara, yagn didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan Usaha Swasta berbentuk Perseroan Terbatas, yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Koperasi.
Tentang Perijinan perlu ditambahkan mengenai persyaratan usaha, untuk mengakomodasi tentang kualifikasi sumber daya manusia. Persyaratan usaha, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan untuk mendapatkan ijin penyelenggaraan telekomunikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perlu ditambah Bab baru tentang Peran Serta Masyarakat, yang disebut Masyarakat
Telekomunikasi dan Informasi:
1. Masyarakat telekomunikasi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan sektor telekomunikasi.
2. Penyelenggaraan peran masyarakat telekomunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui suatu forum masyarakat telekomunikasi.






10

3. Penyelenggaraan peran masyarakat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalam melaksanakan pengembangan sektor telekomunikasi dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri.
4. Forum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari atas unsur-unsur:
• asosiasi perusahaan telekomunikasi dan informatika
• asosiasi profesi telekomunikasi dan informatika
• asosiasi perusahaan produsen dan peralatan telekomunikasi dan informatika
• masyarakat intelektual
• organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dan berkepentingan di sektor telekomunikasi/ informatika dan/atau yang mewakili konsumen telekomunikasi dan informatika.
• Instansi pemerintah
• Unsur-unsur yan dianggap perlu.
Forum ini mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya menumbuhkembangkan sektor telekomunikasi yang berfungsi untuk:
• menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
• membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan sektor telekomunikasi
Indonesia
• tumbuh dan berkembangnya peran pengawasan masyarakat
• memberi masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan.
Pada bagian Penjelasan, perlu diperbaiki dengan menambah uraian tentang penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus agar dapat mengakomodasi jasa konten, sebagai berikut. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah penyelenggara jasa telekomunikasi yang selama ini telah dikenal di Indonesia, seperti telepon, telex, fax, maupun bentuk-bentuk jasa lain yang berkaitan dengan konvergensi seperti jasa penyiaran interaktif, jasa informasi on-line, jasa hiburan on-line melalui TV kabel, jasa-jasa on-line lainnya seperti program pendidikan dan kesehatan, dan jasa-jasa lain yang diatur dalam aturan pemerintah.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain untuk keperluan meterorologi dan geofisika, televisi siaran, radio siaran, navigasi, penerangan, pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaan telekomunikasi khusus instansi pemerintah tertentu/swasta untuk keperluan sendiri.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus oleh Badan Usaha Swasta merupakan penyelenggaraan telekomunikasi khusus yangdiselenggarakan oleh badan usaha swasta untuk keperluan sendiri, seperti antara lain untuk keperluan pertambangan dan perbankan, rumah sakit, hotel, dsb.

E. Catatan PT Satelindo: Badan Regulator Independen6
Salah satu pelaku bisnis telekomunikasi lewat satelit adalah PT Satelindo. Tentu sangat menarik untuk menelusuri bagaimana pandangan dan harapan PT Satelindo terhadap RUU Telekomunikasi yang sedang dibahas di DPR RI.
Menurut PT Satelindo, perkembangan penyelenggaraan telekomunikasi beberapa tahun belakangan ini di Indonesia berkembang sangat pesat dan menumbuhkan berbagai peluang bisnis baru. Selaras dengan itu pengaruh external yang dipicu oleh globalisasi, sistem ekonomi pasar bebas, yang didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang bertumpu pada persaingan sehat, anti monopoli, semangat deregulasi, debirokratisasi dan harapan konsumen, menuntut penataan pengaturan dibidang penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang lebih maju dan berfikir kedepan.



6 Disarikan dan lihat lebih lanjut Sumbangan Pikiran PT Satelindo dalam rangka Pembahasan RUU Telekomunikasi di Komisi IV DPR RI, tanggal 6 Juli 1999.



11

Dengan pengaturan yang lebih dititikberatkan kepada hal- hal yang strategis dan mendukung usaha persaingan yang sehat, disertai mekanisme pasar, dipercaya akan mengantar para penyelenggara telekomunikasi siap bersaing secara global dalam mendukung kebutuhan pelanggannya. Keikutsertaan Indonesia dalam WTO, APEC & AFTA hendaknya dapat mendorong upaya-upaya penataan ulang pengaturan bagi seluruh elemen dari penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang tidak akan terlepas dari elemen lainnya dalam kehidupan bernegara dan berinteraksi dengan dunia internasional.
Dengan dasar pemikiran yang demikian, PT Satelindo memberikan catatan kritis sekaligus harapan terhadap ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi.
Pertama, upaya untuk menghindari monopoli dan tidak sehatnya kompetisi dikaitkan dengan telah selesainya pembahasan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sudah merupakan keharusan untuk menindaklanjuti suatu mekanisme pengaturan, sehingga dapat diciptakan insentif- insentif bagi para penyelenggara telekomunikasi yang pangsa pasarnya masih rendah sampai dengan terciptanya suatu keseimbangan pangsa pasar diantara para pemainnya. Diyakini dan dipercaya bahwa bila disertai dengan upaya peningkatan kualitas layanan yang memadai akan memberikan dampak positif bagi kesiapan bangsa dalam menghadapi persaingan global. Para penyelenggara yang masih dalam tahap berkembang, seyogyanya diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, dan tidak dibebani dengan berbagai kewajiban tambahan, karena tujuan utama Pemerintah adalah menciptakan para penyelenggara yang handal dan mampu bersaing pada waktunya.
Kedua, dalam upaya mendukung pemikiran di atas, dan dalam upaya mencapai asas keadilan, kepastian hukum dalam penyelenggaraan telekomunikasi, sudah tiba saatnya menghadirkan badan regulator yang independen.
Ketiga , pengenaan biaya pemakaian frekuensi dapat didasarkan pada parameter yang lebih adil dan logis, yaitu faktor lebar pita, luas cakupan area serta jumlah populasi penduduk. Dengan demikian, pengenaan biaya pemakaian frekuensi yang dikenakan terhadap setiap dan seluruh stasiun pemancar (yang sangat memberatkan) sebagaimana diberlakukan selama ini harusnya dapat ditinjau kembali.
Keempat, khusus untuk penyelenggaran Telekomunikasi Khusus perlu disiasati adanya perkembangan teknologi dibidang informasi, komunikasi, broadcast yang cenderung konvergen yang jika tidak disikapi secara dini akan menyulitkan pengawasan tentang arti definisi khusus tersebut. Pengaturan yang lebih lanjut ditingkat operasional perlu dirumuskan agar tidak menyulitkan dalam rangka "lawenforcement"nya.
Kelima, dalam upaya pembangunan Infrastruktur, seharusnya para penyelenggara tidak lagi merniliki hak khusus seperti halnya disebutkan dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1989 dan regulasi turutannya. Hal ini penting dalam rangka perlindungan kepentingan umum. Namun demikian, untuk mendukung proses pembangunan infrastruktur telekomunikasi, maka perlu diatur agar pihak yang berhak atas tanah, bangunan dan
tumbuh-tumbuhan wajib mengijinkan penyelenggara telekomunikasi melakukan aktivitasnya. Dalam RUU Telekomunikasi yang baru, seharusnya semua penyelenggara telekomunikasi alam pembangunan infrastrukturnya harus mendapatkan ijin dari
pihak-pihak yang terkait. Karena itu, perlu segera ditetapkan pengaturan jelas dari pemerintah agar kecepatan pembangunan infrastruktur tidak mengalami hambatan dalam implementasinya, antara lain yang menyangkut tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi, tata cara perijinan yang transparan dan lain sebagainya.
Keenam, aalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, sarana dan prasarana telekomunikasi untuk penyelenggaraan telekomunikasi mendapat perlindungan dan pengamanan. Tetapi dalam RUU Telekomunikasi yang baru masalah pengamanan sarana telekomunikasi tidak lagi dicantumkan. PT Satelindo berpandangan bahwa hal tersebut masih perlu secara explisit dicantumkan guna meningkatkan keandalan, dan menekan biaya yang harus dikeluarkan oleh penyelenggara berkaitan dengan upaya pengamanan investasi yang ditanamkan yang cukup besar.



12

Ketujuh, dalam RUU Telekomunikasi yang baru telah menampung pasal-pasal yang lebih baik dibanding Undang-undang sebelumnya, antara lain yang menampung kepentingan masyarakat, para pemakai jasa telekomunikasi, juga penyelenggara termasuk didalamnya sanksi-sanksi yang relatif lebih berat dibanding sebelumnya. Namun demikian, dalam upaya menghindari penafsiran yang tidak sama, agar disusun pengaturan yang lebih rinci dari pemerintah untuk memudahkan operasionalisasinya.
Kedelapan, bahwa dalam RUU Telekomunikasi yang baru telah diamanatkan bahwa setiap penyelenggara diwajibkan untuk memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. Untuk itu PT Satelindo mengusulkan agar pengaturan ini dilakukan secara proporsional dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan para penyelenggara. Bila RUU Telekomunikasi akan disahkan PT Satelindo menghimbau pula agar segera direvisi secepatnya Peraturan- peraturan Pemerintah yang berlaku saat ini, yang jiwanya tidak sesuai dengan yang diamanatkan dalam RUU Telekomunikasi. Sebab, dalam peraturan yang ada saat ini hanya mewajibkan kepada satu operator, sedang untuk operator yang lain tidak ada kewajiban tersebut.
Kesembilan, agar ketetapan pengaturan pencatatan rinci pemakaian jasa yang digunakan pelanggan telekomunikasi dalam RUU Telekomunikasi dapat dipertimbangkan kembali. Apakah pengaturan-pengaturan seperti ini masih diperlukan ? Dalam alam persaingan para pemain akan berusaha melayani pelanggan sebaik baiknya, untuk mendapat pangsa pasar yang berarti.
Kesepuluh, peniadaan definisi "jasa telekomunikasi dasar" dan "jasa telekomunikasi non-dasar" dalam RUU Telekomunikasi, akan memberikan dampak dalam persaingan dan pembukaan penyelenggaraan telekomunikasi, selain membuka upaya peluang baru, juga menambah rumitnya interkoneksi diantara penyelenggara telekomunikasi. Karena itu, pengaturan hak dan kewajiban dalam interkoneksi yang akan diatur oleh Pemerintah agar memperhitungkan asas transparansi dan rasa adil, dan tentunya diselenggarakan oleh badan yang netral.
Kesebelas, dalam RUU Telekomunikasi dinyatakan bahwa setiap penyelenggara telekomunikasi wajib membayar biaya penyelenggaraan yang diambil dari prosentase pendapatan, karena itu PT Satelindo mengusulkan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan adalah pendapatan yang tertagih. Diusulkan pula agar ditata suatu mekanisme penyisihan bagian tertentu dari dana ini untuk membiayai operasionalisasi badan regulator yang independen yang telah diuraikan di atas.

F. Pandangan PT Indosat: perlu aturan main yang jelas7
PT Indosat sebagai salah satu pelaku bisnis telekomunikasi, memberikan catatan dan harapannya tentang RUU Telekomunikasi, khususnya pada percepatan pengaruh perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi serta aplikasinya yang telah memberikan peluang yang sangat besar dan luas bagi suatu perekonomian/perdagangan secara individual dan global. Misalnya seorang pengrajin dari suku Asmat di Jayapura dapat dengan mudah berkomunikasi dengan rekan bisnisnya di Jakarta maupun di belahan bumi lain di Eropa.
Dalam konteks yang demikian itu, PT Indosat melihat bahwa sektor telekomunikasi memerlukan suatu "aturan main" yang dapat memberikan jaminan kepastian dan keadilan
(fairness) baik antara sesama penyelenggara jasa telekomunikasi maupun antara penyelenggara dengan masyarakat pengguna jasa. Disisi lain "aturan main" ini juga harus dengan jelas merinci peran dan kewajiban pemerintah sebagai pembina, yang merupakan Public Custodian melalui fungsi-fungsi Pengaturan (Regulatory) yang transparan kepada masyarakat.



7 Lihat Kata Pengantar Direktur Utama PT Indosat Tbk, Tjahjono Soerjodibroto, pada Acara Dengar
Pendapat dengan Komisi IV DPR RI Berkenaan dengan Pembahasan RUU Telekomunikasi, 6 Juli
1999.



13


catatan.

Dengan latar belakang pemikiran yang demikian, PT Indosat memberikan beberapa



1. Perkembangan Teknologi
Rancangan Undang-Undang tentang Telekomunikasi hendaknya dapat menampung/mewadahi konvergensi teknologi telekomunikasi, informasi dan penyiaran
(broadcasting) sebagai suatu proses yang tidak terhindarkan. Dengan visi perkembangan teknologi yang demikian, Pemerintah dapat membuat kerangka kebijaksanaan yang lebih sederhana namun komprehensif. Untuk hal tersebut dalam RUU Telekomunikasi perlu diperkaya dengan definisi/pengertian tentang Telematika dan
Broadcasting.

2. Hak Eksklusifitas dan Masalah Level Playing Field dalam Kompetisi.
Status monopoli dan duopoli yang telah diberikan kepada Badan Penyelenggara (PT Telkom dan PT Indosat) dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi menjadi hilang. Dilain pihak Pemerintah telah memberikan komitmennya kepada para investor pada saat penjualan saham kedua Badan Penyelenggara tersebut dengan memberikan hak eksklusifitas kepada PT Telkom sampai dengan tahun 2005 dan 2010 serta kepada PT Indosat sampai dengan tahun
2004. Untuk menjaga kredibilitas dan kepastian hukum di Indonesia maka hal tersebut perlu dijembatani oleh suatu ketentuan yang dapat memberikan jaminan kepada investor bahwa kepentingannya tetap dilindungi dalam pelaksanaan dari RUU ini. Dengan demikian investor asing tetap memiliki kepercayaan terhadap hukum Indonesia. Untuk menjembatani permasalahan ini, perlu ada pengaturannya dalam Pasal Peraturan Peralihan, dimana kebijaksanaan mengenai hak eksklusifitas dan lain lain, yang membutuhkan masa transisi akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah untuk menjaga komitmen Pemerintah sebelumnya.
Menurut PT Indosat, RUU Telekomunikasi ini belum cukup mengatur mengenai Level Playing Field diantara para penyelenggara telekomunikasi dalam suasana pasar yang berkompetisi. Sudah menjadi fakta yang tidak terbantah bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi yang telah lebih dahulu beroperasi (artinya sudah memiliki jaringan kabel sampai ke pelanggan) akan mempunyai posisi saing yang lebih tinggi dari pendatang baru. Oleh karena itu, dan untuk efisiensi nasional para penyelenggara jasa telekomunikasi yang baru harus diberi kesempatan untuk berkompetisi secara fair dengan cara mewajibkan penyelenggara jasa/jaringan telekomunikasi yang sudah (ada) untuk memberikan (a) Interkoneksi kepada penyelenggara jaringan/jasa yang baru dan (b) Akses langsung ke jaringan kabel lokal tanpa melalui jaringan sentral lokal milik penyelenggara jaringan yang sudah lebih dahulu ada. Mengapa ? Hal ini sangat penting diimplementasikan apabila Pemerintah sebagai regulator menciptakan kebijaksanaan kompetisi penuh baik antar penyelenggara telekomunikasi yang telah ada (incumbent) maupun antara penyelenggara yang telah ada dengan penyelenggara baru.
3. Peran Regulator
Terciptanya iklim kompetisi yang sehat memerlukan peran regulator yang kuat agar dapat bertindak sebagai badan independen dalam pengawasan penyelenggaraan telekomunikasi. Peran regulator yang kuat dapat diimplementasikan dalam pengaturan mengenai pemberian lisensi penyelenggaraan telekomunikasi, dimana regulator harus menentukan aturan main dengan menetapkan kriteria dan mekanisme pemberian lisensi secara jelas baik bagi penyelenggara yang telah ada maupun kepada pendatang baru dengan memperhatikan keseimbangan antara jumlah penyelenggara dengan daya serap pasar serta efisiensi nasional. Kriteria dan mekanisme ini juga dimaksudkan untuk menjamin transparansi dan efektifitas dalam pemberian lisensi/ijin sekaligus memberikan gambaran yang jelas bagi para investor mengenai tingkat kompetisi yang akan dihadapinya.
4. Ketentuan yang Terkait dengan Tarif
Untuk menciptakan iklim penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang fair sebaiknya pemberlakuan tarif telekomunikasi yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana dimaksud



14

dalam RUU Telekomunikasi ditetapkan berdasarkan perhitungan berbasis biaya (cost based). Di samping untuk menjaga kompetisi yang fair, penerapan tarif berbasis biaya diharapkan akan membawa keuntungan kepada pengguna jasa berupa kualitas layanan yang lebih baik. Selain usulan perhitungan tarif berbasis biaya, kami juga mengusulkan bahwa penetapan tarif dapat didelegasikan kepada penyelenggara berdasarkan koridor yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Penetapan tarif di antara koridor tersebut akan dapat memberikan ruang gerak yang kompetitif diantara penyelenggara dengan tetap menjamin suasana kompetisi yang sehat.
5. Penyelenggaraan Telekomunikasi oleh Pihak Asing
Seiring dengan era globalisasi, khususnya dalam rangka menyongsong pemberlakuan AFTA dan WTO, dirasakan perlu adanya suatu pengaturan dalam RUU Telekomunikasi ini yang dapat menopang ketentuan dan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan jasa telekomunikasi oleh pihak asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Antisipasi mutlak diperlukan mengingat kemungkinan konvergensi telekomunikasi ke depan pihak penyelenggara asing yang berada di luar wilayah Indonesia dengan mudah memperoleh pasar pengguna jasa telekomunikasi di wilayah Indonesia yang telah ditopang dengan kemudahan pembayaran kartu kredit secara global.
Dengan alur berpikir yang demikian, PT Indosat memberikan beberapa usulan sebagai berikut.
a. Penegasan pemberlakuan ketentuan perundang-undangan saat ini dengan mensyaratkan adanya badan hukum yang berdiri di wilayah hukum Indonesia (Permanent Establishment) atau bekerjasama dengan salah satu penyelenggara di Indonesia; atau
b. Diberlakukan landing right kepada penyelenggara jasa telekomunikasi asing diluar wilayah Indonesia yang ingin memasuki pasar Indonesia. Hal ini secara khusus terkait dengan jasa telekomunikasi GMPCS yang berbasis satelit dan satelit broadcasting maupun jasa-jasa satelit lainnya.

6. Perlindungan Konsumen
Dalam RUU Telekomunikasi telah dicantumkan ketentuan-ketentuan yang memberikan hak- hak dan perlindungan kepada pengguna jasa telekomunikasi antara lain meliputi pemberian ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi dengan pembuktian terbalik. Namun demikian, PT Indosat menyarankan perlu adanya suatu batasan dalam pemberian ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi, karena pemberian ganti rugi berdasarkan konstitusi International Telecommunication Union (ITU) adalah sebatas hanya klaim untuk liquidated damages saja dan tidak termasuk consequential damages.
Di samping itu, menurut PT Indosat asas pembuktian terbalik dapat menciptakan suatu kondisi yang tumpang tindih baik antar penyelenggara jaringan maupun antara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa mengenai kewenangan untuk melakukan pembuktian terbalik. Dampak yang mungkin timbul adalah tanggung jawab yang dibebankan lebih berat kepada penyelenggara telekomunikasi yang berhadapan langsung dengan pelanggan (end user).

G. Tanggapan Askomlek Kasum TNI: Regulatory Framework8
Dalam mensikapi dan memberikan pandangannya terhadap RUU Telekomunikasi, Askomlek Kepala Staf Umum TNI memberikan catatan-catatan penting sebagai berikut.
Dalam ketentuan-ketentuan pokok Pertahanan dan Keamanan Negara telah dinyatakan bahwa sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung kekuatan pertahanan keamanan negara didayagunakan bagi peningkatan daya dan hasil guna serta kelancaran dan kelangsungan upaya pertahanan keamanan negara. Karena itu disadari bahwa dengan perubahan yang begitu cepat di dalam sendi-sendi kehidupan, baik itu yang berkaitan dengan perkembangan teknologi maupun


8 Lihat Tanggapan Marsekal Muda TNI Sardjono, Askomlek Kasum TNI atas RUU Telekomunikasi pada Rapat dengar Pendapat Umum dengan Komisi IV DPR RI, tanggal 28 Juni 1999.



15

perubahan lingkungan usaha dalam era globalisasi telah menempatkan bidang Telekomunikasi menjadi sektor yang sangat strategis dan penting, sehingga sudah sewajarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi perlu direvisi atau diganti.
Mengenai Bab IV tentang Penyelenggaraan tentang perangkat Telekomunikasi, spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sangat berkaitan erat dengan pemanfaatan ruang angkasa, dimana frekuensi radio dan orbit satelit merupakan sumber daya alam terbatas. Dengan demikian penggunaannya haruslah benar-benar efektif dan efisien serta bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu perlu adanya peningkatan kemampuan penyelenggaraan manajemen frekuensi radio (frequency management), yang hingga saat ini masih menghadapi kendala, baik bersifat intern maupun ekstern. Dalam hal ini alokasi frekuensi nasional perlu ditata dan dimantapkan, sehingga tidak timbul perbedaan persepsi tentang kedudukan maupun penetapan frekuensi radio dalam penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya yang berhubungan dengan pengamanan dalam bidang penyelenggaraan komunikasi. Penetapan frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus bagi keperluan Hamkamneg yang bersifat rahasia dan sangat rahasia perlu diatur secara khusus pula. Untuk itu disarankan adanya tambahan pasal baru bahwa alokasi frekuensi radio untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi khusus bagi pertahanan keamanan negara perlu diatur tersendiri dengan atau di dalam Peraturan Pemerintah.
Mengenai kelancaran telekomunikasi, diyakini dan dipahami hanya dimungkinkan oleh keberadaan teknologi komunikasi yang ditunjang dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bekerja tanpa terlalu mengandalkan faktor dan fasilitas yang bersifat non teknis. Untuk menjadi penyelenggara telekomunikasi diperlukan suatu proses belajar yang memakan waktu dengan konsentrasi yang terfokus pada suatu obyektif yaitu pemberian layanan yang terbaik bagi kepentingan masyarakat secara profesional. Dengan demikian disarankan untuk dipertimbangkan masalah kualifikasi dan klasifikasi penyelenggaraan telekomunikasi.
Salah satu komponen yang paling rumit yang harus ditangani adalah Regulatory Framework. Akan banyak sekali regulasi dan konsensus yang perlu diubah untuk mengantisipasi globalisasi yang sedang dan akan berjalan di masa mendatang. Regulasi maupun konsensus yang dikembangkan harus menimbulkan suasana yang kondusif dan memungkinkan segala lapisan masyarakat secara profesional dapat mengambil bagian dan berpartisipasi secara aktif serta bertanggung jawab dalam upaya pengembangan dunia pertelekomunikasian di Indonesia. Untuk itu keberadaan Lembaga Dewan Telekomunikasi Nasional, dalam hal ini Bappertel (Badan Pertimbangan Telekomunikasi) yang mana keanggotaannya termasuk unsur TNI, perlu dikedepankan peranannya, kami sarankan keberadaan organisasi, struktur dan fungsi badan TNI dapat diakomodasikan di dalam Undang-undang Telekomunikasi yuang baru.
Gelombang elektromagnetik sebagai sumber alam terbatas selain sangat bermanfaat bagi manusia juga dapat merugikan (electromagnetic hazard) baik terhadap kesehatan (health hazard) maupun terhadap lingkungan. Walaupun pengaruh akibat penggunaan telepon sellular (Ponsel) terhadap syaraf-syaraf otak manusia masih menjadi masalah yang kontroversial, namun hal ini perlu diperjelas karena sangat berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen yang mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini perlu diperjelas siapa yang bertanggung jawab akibat penggunaannya. Apakah pabrik pembuat alat, penyelenggara jasa telekomunikasi atau resiko dari pengguna.
Di dalam Undang-undang Nomor 5Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dinyatakan bahwa Praktek Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal ini sudah sejalan dengan Rancangan Undang-undang Telekomunikasi. Namun demikian dalam



16

aplikasi nantinya patut diwaspadai terhadap teknologi yang terbawa serta dengan masuknya modal asing. Ketergantungan teknologi dapat berpengaruh terhadap kebijaksanaan manajemen bidang usaha yang bersangkutan dan pada akhirnya dapat merugikan kepentingan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan adanya regulasi yang mengatur masalah kerjasama yang memanfaatkan teknologi komunikasi.

H. Catatan Kritis APTEG: Perlu Uji Teknis dan Uji Kelaikan Operasi9
Sebagai Penyelenggaraan telekomunikasi dan perdagangan perangkat/peralatan telekomunikasi di Indonesia dan sebagai penandatangan perjanjian Multilateral dalam skema World Trade Organization (WTO), Asean Free Trade Area (AFTA) maupun Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), PATEG memandang bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari kecenderungan prinsip-prinsip universal penyelenggaraan telekomunikasi. Hal-hal yang bertentangan dengan semangat persaingan sehat anti monopoli, deregulasi dan debirokratisasi yang menyebabkan inefisiensi dan membebani baik kepada masyarakat pengguna maupun sistem perdagangan perangkat/peralatan telekomunikasi itu sendiri. Hal tersebut sudah selayaknya dihindarkan dan dicegah guna peningkatan daya saing ekonomi nasional secara makro.
Rancangan Undang-undang Telekomunikasi ini menyebutkan bahwa semua perangkat telekomunikasi baik yang digunakan atau yang diperjualbelikan di Wilayah Republik Indonesia wajib melakukan Uji Teknis dan Uji Kelayakan Operasi khususnya terhadap perangkat Telekomunikasi Selular (GSM). Dalam praktek selama ini, sering disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga dapat merugikan masyarakat/pengguna serta pedagang Telpon Genggam khususnya.
Oleh karea itu, APTEG mengusulkan agar Ketentuan Uji Teknis dan Uji Kelaikan Operasi khususnya Telepon Genggam Selular (Ponsel) yang diberlakukan selama ini oleh Dirjen Postel selayaknya dihilangkan karena hal tersebut tidak perlu, mengingat semua Merek Ponsel yang diproduksi dan dipasarkan telah lulus uji Teknis dari Badan Internasional dan hal ini dapat dibuktikan dengan adanya simbol CE pada setiap Telepon Selular dan nomor seri Ponsel yang disebut dengan IMEI, sehingga tidak memungkinkan untuk digandakan atau disalahgunakan mengingat frekuensi yang digunakan Telepon Selular adalah Fix, sehingga ketentuan uji Teknis tersebut tidak efektif.

I. Catatan Kritis PT TELKOM: Reformasi Telekomunikasi10
Catatan paling kritis yang dapat diangkat dari PT Telkomu sebagai salah satu pelaku bisnis telekomunikasi ialah gagasannya yang langsung menukik. Reformasi telekomunikasi ! Oleh karena itu, secara gamblang catatan kritis PT Telkom ini menarik disiasati.
PT Telkom memandang bahwa perubahan lingkungan ekonomi global dan laju kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika yang berlangsung sangat dinamis telah mendorong lahirnya lingkungan telekomunikasi yang jauh berbeda dengan keadaan yang telah berlaku selama ini. Perubahan yang amat mendasar ternyata menimbulkan realita baru pada penyelenggaraan telekomunikasi di seluruh dunia.
Dalam garis besar, wujud perubahan dan realita baru ini berupa :
1. Beralihnya fungsi telekomunikasi dari utilitas menjadi komoditi perdagangan.
2. Bergesernya fungsi pemerintah dari memiliki, membangun dan menyelenggarakan telekomunikasi menjadi badan yang hanya menentukan kebijakan, mengatur, mengawasi dan mengendalikan sektor telekomunikasi.
3. Peningkatan peran swasta sebagai investor prasarana dan penyelenggara jasa telekomunikasi.
4. Transformasi struktur pasar telekomunikasi dari monopoli ke persaingan.


9 Lihat Pandangan Aosisasi Pedagang Telepon Genggam (APTEG) dalam Rapat Dengar Pendapat
Umum dengan Komisi IV DPR RI, tanggal 26 Juli 1999.
10 Disarikan dan lihat lebih lanjut Tanggapan dan Saran Direksi PT Telkom pada Acara Pembahasan
RUU Telekomunikasi dengan Komisi IV DPR RI tanggal 6 Juli 1999.



17

Dalam lingkup nasional kiranya ada tiga hal yang menjadi determinan penting dalam rumusan kebijakan reformasi sektor telekomunikasi, yaitu haluan negara, krisis moneter, dan program pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian Undang-undang Telekomunikasi sudah seharusnya mengandung unsur reformasi sektor telekomunikasi, yang pada prinsipnya mempunyai tujuan :
1. Meningkatkan kinerja sektor telekomunikasi yang mampu mendorong sektor lain yang pada gilirannya mampu meningkatkan keunggulan daya saing ekonomi nasional dalam rangka mempersiapkan ekonomi Indonesia menghadapi globalisasi.
2. Melaksanakan liberalisasi sektor telekomunikasi.
3. Meningkatkan transparansi dan kejelasan proses pengaturan (regulasi).
4. Memfasilitasi terciptanya kesempatan kerja baru.
5. Mengoptimalkan perolehan yang didapat dalam proses privatisasi BUMN.
6. Menggalang kerja sama dalam skala global dan
7. Membuka lebih banyak kesempatan berusaha.
Ada beberapa catatan yang dapat diajukan terhadap RUU Telekomunikasi. Pertama, mengenai ketentuan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Ketentuan yang ada masih sangat umum dan belum secara jelas memuat larangan yang spesifik dalam bisnis telekomunikasi. Misalnya, larangan penguasaan bisnis secara integrasi vertikal yang dilakukan badan penyelenggara seperti konsep reselling yang dalam industri perdagangan biasa memiliki aturan yang tegas.
Kedua, pembagian penyelenggaraan Telekomunikasi yang meliputi penyelenggaraan jaringan, penyelenggaraan jasa dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus, akan menyulitkan dalam pengaturan, teknologi dan implementasinya. Mengapa ? Sebab pada dasarnya penyelenggaraan jaringan juga merupakan penyelenggaraan jasa, yang dalam hal tertentu sulit dibedakan antara jaringan dan jasa sebagaimana pada bisnis VSAT dan Global Mobile Personal Communication System atau GMPCS. Disamping itu sesuai dengan RUU Telekomunikasi, dalam pelaksanaannya nanti dimungkinkan penyelenggara bisnis jaringan memasuki bisnis jasa dan demikian pula sebaliknya. Di samping itu masih menjadi ganjalan adalah mengenai ketentuan Fraud dalam RUU Telekomunikasi yang belum mengatur secara lengkap mengenai Telecommunication Fraud atau kejahatan di bidang telekomunikasi, diantaranya belum adanya rumusan delik kejahatan telekomunikasi yang dilakukan oleh sindikat dan kejahatan yang melibatkan penyelenggara dan kejahatan dan pelanggaran telekomunikasi yang dilakukan penyelenggara terhadap penyelenggara lain dan kejahatan dengan menyalahgunakan fasilitas jasa telekomunikasi seperti penyalahgunaan fitur. Mengingat wilayah Fraud di bidang telekomunikasi sangat luas, seperti illegal interception, electronic vandalism, stealing telecommunication service, telecommunication piracy, telemarketing fraud, electronic money laudering, pornography,electronic funds transfer crime, dll. Maka sebaiknya perlu ada Undang-undang khusus mengenai kejahatan telekomunikasi seperti adanya Undang-undang tentang Kejahatan Penerbangan (Undang- undang Nomor 4 Tahun 1976) yang menjadi bagian dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Ketiga, mengenai pengaturan perselisihan antar operator, mengingat masih adanya grey area khususnya dalam bidang interkoneksi. Dalam hal ini diperlukan ketentuan yang memberikan wewenang kepada lembaga independen yang berwenang mengatur (Independet Regulatory Body) dan menjadi arbiter dengan putusan yang final bagi opertor-operator yang berselisih.
Keempat, agar reformasi sektor telekomunikasi Indonesia menuju masa depan dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka Undang-undang Telekomunikasi yang baru sudah selayaknya memiliki kerangka hukum yang sesuai dan dapat memayungi perkembangan sektor telekomunikasi. Adapun kerangka hukum yang sesuai tersebut diharapkan lebih mencerminkan hal-hal sebagai berikut :
1. Kebijakan pro-persaingan, yakni menegaskan bahwa lingkungan sektor telekomunikasi berkarakter multi operator berdasarkan persaingan dan pro konsumen.




18

2. Pemisahan fungsi pembinaan dan penyelenggaraan. Dalam hal ini penguasaan telekomunikasi oleh negara dilakukan dalam bentuk pembinaan yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan pengawasan dan pengendalian.
3. Non diskriminasi atas dasar struktur kepemilikan.
Kewenangan yang diberikan kepada penyelenggara tidak didasarkan pada adanya saham penyelenggara yang dimiliki pemerintah, melainkan tergantung pada jenis jaringan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakan penyelenggara.
4. Tarif berorientasi biaya, yakni susunan tarif jasa telekomunikasi ditentukan oleh pemerintah dengan memperhatikan antara lain basis biaya dan mekanisme pasar.
5. Mekanisme perizinan atau licensing berprinsip pada tata cara yang sederhana, proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif, singkat serta memperhatikan kebutuhan pasar.
6. Dalam hal interkoneksi setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib melaksanakan interkoneksi bila diminta dan berhak meminta interkoneksi dengan jaringan telekomunikasi lain.
7. Menunjukkan pelayanan universal dalam lingkungan multi operator dalam bentuk penyediaan sarana dan prasaran telekomunikasi atau berupa kontribusi antar penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi.
8. Akses yang setara (equal access). Agar semua jaringan telekomunikasi dalam lingkungan multi jaringan dapat diakses pelanggan suatu jaringan, maka penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan pelanggannya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
9. Spesifikasi standar teknik harus bersifat netral terhadap teknologi dan berdasar pada standar internasional.
Kelima, mengenai perlunya kesinergian RUU Telekomunikasi yang akan datang dengan UU Penyiaran yang ada (UU Nomor 24 Tahun 1997). Seperti halnya di negara maju lainnya, UU telekomunikasi mencakup masalah penyiaran (broadcasting) mengingat kegiatan penyiaran merupakan salah satu aspek telekomunikasi yang pengiriman informasinya menggunakan gelombang elektromagnetik, kabel serat optik atau media lainnya agar siarannya diterima masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya pengaturan seperti misalnya fleksibilitas spektrum penyiaran yang terkait dengan spektrum telekomunikasi. Keenam, sebaiknya sebelum menetapkan Undang-undang Telekomunikasi terlebih dahulu membahas cetak biru kebijakan pemerintah tentang Reformasi sektor Telekomunikasi Indonesia secara tuntas, agar Undang-undang lebih valid dan dapat diterima semua pihak.

J. Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia dan PP PRSSNI11
J.1.Catatan Umum
Bagi Masyarakat Pers dan Penyiaran (MPPI) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), pembahasan RUU Telekomunikasi menjadi terasa penting. Sebab, sangat berhubungan dengan masalah penyiaran. Saat ini masalah telekomunikasi diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989, sedangkan masalah penyiaran diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1989. Ketika RUU Telekomunikasi dipersiapkan untuk dibahas, Departemen Penerangan juga mempersiapkan RUU Media Masa, yang di dalamnya terdapat materi muatan pers, penyiaran dan film. Khusus mengenai materi muatan penyiaran, maka tidak dapat dipisahkan masalah penyiaran ini dari undang-undang yang mengatur masalah telekomunikasi dan undang-undang yang mengatur masalah penyiaran. Bahkan pengertian antara “telekomunikasi” dan “penyiaran” terasa tumpang tindih. Sebab, sesungguhnya telah terjadi konvergensi antara teknologi telekomunikasi, teknologi penyiaran dan teknologi komputer.
Oleh karena itu, apakah sudah dalam koridor sinergi yang sama antara pembahasan
RUU Telekomunikasi dan UU Penyiaran itu sendiri ? Apakah tidak lebih baik diberikan


11 Pandangan ini disampaikan pada tanggal 28 Juni 1999 dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IV DPR RI.



19

waktu yang cukup membahas masalah ini secara serentak dan bersamaan ? Apalagi perdebatan mengenai telekomunikasi dan penyiaran tidak lagi cukup hanya didekati dengan paradigma lama, tetapi harus dengan paradigma baru. Apa itu ? Baik telekomunikasi maupun penyiaran menggunakan public utilities dan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit di ruang angkasa sebagai bagian dari ranah publik merupakan salah satu sarana mentransformasikan INFORMASI, yang menurut Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 adalah informasi adalah bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, materi muatan RUU Telekomunikasi ini harus berpihak pada pemenuhan dan pendorong bagi tumbuh dan berkembang serta terjaminnya akses masyarakat mendapatkan informasi. Paradigma ini seharusnya dijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuhnya. Keseluruhan materi muatan RUU Telekomunikasi ini masih sangat jauh dari paradigma kebebasan mengakses informasi sebagai hak asasi manusia. Dan karenanya terkesan tidak demokratis dan belum komprehensif.
Kenyataan ini terlihat dari tidak jelas RUU Telekomunikasi dalam menempatkan filosofi sebagai acuan dasarnya. Bahkan RUU Telekomunikasi ini tidak menempatkan baik telekomunikasi maupun penyiaran apakah sebagai public utilities, apakah sebagai public domain dan apakah sebagai public goods –dalam kaitannya dengan penyiaran. Seharusnya diletakkan dasar filosofi bahwa:
• telekomunikasi merupakan public utilities karena menyangkut hajat hidup orang banyak,
sebagai amanat Pasal 33 UUD 1945;
• penyiaran, sepanjang menyangkut asset public (frekuensi) adalah berhubungan erat dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan sepanjang mengenai public goods, sangat berhubungan erat dengan amanat Pasal 28 UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.

J. 2. Catatan Khusus
2.1. Landasan filosofis RUU Telekomunikasi: Telekomunikasi sebagai Ranah Publik dan
Public Utilities!!
Setidaknya ada 5 landasan filosofis, yang sekaligus menjadi alasan kuat mengapa
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi diubah.
Pertama, bahwa tujuan pembangunan nasional antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan dan mendukung terciptanya tujuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional, serta meemperkuat hubungan antar bangsa.
Ketiga, bahwa pengaruh era globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.
Keempat, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap tele-komunikasi tersebut, perlu dilakukan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Kelima, bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka UU Nomor 3
Tahun 1989 tentang Telekomunikasi tidak sesuai lagi, sehingga perlu disusun UU Telekomunikasi yang baru.
Dari kelima dasar pertimbangan ini, sesungguhnya tidak ada landasan filosofis yang dapat dipakai sebagai acuan dasar dalam memulai pengaturan telekomunikasi. Arahnya juga tidak jelas. Tidak ada penegasan yang tuntas, tentang pemaknaan telekomunikasi bagi masyarakat Indonesia sebagai suatu public utilities sebagaimana amanah Pasal 33 UUD
1945. Hanya ada satu dasar pertimbangan yang dapat dikembangkan lebih lanjut ---itupun salah menempatkan----, yaitu bagian menimbang kedua, karena bukan merupakan landasan filosofis melainkan menjadi statemen yang lebih merupakan tujuan. Karenanya, tempatnya harus di bagian Batang Tubuhnya.



20

Bagian menimbang pertama, sama sekali tidak mempunyai makna yang berhubungan dengan telekomunikasi. Bahkan terkesan usang. Artinya, tidak terlihat secara jelas, tegas dan tuntas bagaimana peran telekomunikasi dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional. Barangkali menjadi bijak, jika memulai konsideran Minimbang bagian pertama ini dengan mengacu pada pertimbangan bagian b dari UU Nomor 3 Tahun
1989 yang menegaskan bahwa telekomunikasi merupakan cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga perlu dikuasai oleh Negara demi terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Sayang sekali rumusan ini
“dibuang dan ditinggalkan” begitu saja. Padahal landasan ini sangat relevan dengan amanat
Pasal 33 UUD 1945.
Bagian menimbang ketiga, keempat dan kelima sama sekali bukanlah landasan filosofis yang menjadi acuan utama dalam merumuskan batang tubuhnya, tetapi sekedar faktor politis-sosiologis untuk melakukan perubahan (kecil) di sana sini di bagian batang tubuhnya yang memang dirasa perlu (saja).
Menurut PRSSNI dan MPPI, pemaknaan filosofis terhadap telekomunikasi harus dimulai dari telekomunikasi adalah public utilities dan menggunakan medium lain sebagai bagian ranah publik ! Artinya, telekomunikasi adalah sebuah public utilities dan menggunakan suatu medium dari ranah publik yang jumlahnya terbatas dan tunduk pada regulasi internasional. Konsekuensinya, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945, maka telekomunikasi layak dan pantas “dikuasai NEGARA”. Walaupun demikian, sebagai public utilities dan bagian dari ranah publik, telekomunikasi harus diperuntukkan bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Jadi yang dikuasai negara bukan telekomunikasinya an sich, tetapi spektrum gelombang elektromagnetik dan orbit satelitnya.
Telekomunikasi sebagai ranah publik, menghasilkan public goods yang dinamai dengan INFORMASI. Menurut Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan bahwa hak untuk mendapatkan informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang hakiki. Bab VI dari Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 mengatur perihal Hak Atas Kebebasan Informasi, yang melalui Pasal 20 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Pasal 21 dengan tegas menyatakan pula bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 42 menegaskan bahwa hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi.
Dengan pemaknaan dan pemahaman yang demikian, maka sesungguhnya filosofis dan nuansa kebathinan dalam menempatkan dan mengatur telekomunikasi harus dalam kerangka pemikiran makro bahwa TELEKOMUNIKASI sebagai public utilities dan salah satu bagian dari ranah publik yang mentransformasikan INFORMASI sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.
Memberikan makna yang lebih dalam atas telekomunikasi sebagai public utilities dan bagian dari ranah publik juga mengandung makna bagaimana masyarakat (publik) memperoleh akses dan manfaat yang sebesar-besarnya sebagai upaya memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945 yakni untuk pemenuhan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Agar amanat ini tidak sekedar selogan dan jargon yuridis yang indah di atas kerta, maka sungguh menjadi bijak nan bijaksana jika filosofis berpikirnya dimulai dengan melibatkan masyarakat secara optimal dalam mengelola asset public utilities dan bagian dari ranah publik yang dikuasai negara itu. Artinya, sudah kurang tepat, sudah kurang bijaksana, bahkan sudah usang untuk selalu memonopoli kekayaan public utilities dan ranah publik hanya oleh pemerintah semata. Dengan demikian, harus dimungkinkan untuk mengelola telekomunikasi dengan baik, benar dan jujur serta profesional bersama-sama dengan masyarakat. Sebab dalam negara yang demokratis, peran pemerintah menjadi mengecil dan cenderung hanya menjadi fasilitator, sedangkan peran masyarakat menjadi lebih besar. Maka menjadi sulit ditolak jika dikatakan dibutuhkan satu independet regulatory body untuk telekomunikasi. Kita sebut saja Komisi Telekomunikasi Indonesia (KTI).




21

Berdasarkan uraian di atas, MPPI mengusulkan considerans Menimbang sebagai landasan filosofis RUU Telekomunikasi sebagai berikut.

Menimbang:
1. bahwa telekomunikasi adalah public utilities dan salah satu bagian ranah publik yang menggunakan medium spektrum frekuensi radio dan orbit satelit di ruang angkasa, yang mampu sebagai sarana mentransformasikan informasi, merupakan sumber daya langka karena terbatas dan dibatasi oleh regulasi internasional, merupakan cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan karenanya harus dijaga, dilindungi, dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
2. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi yang menghasilkan informasi merupakan hak asasi manusia yang hakiki dalam menjamin kelangsungan suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, dalam rangka menegakkan persatuan, kebenaran dan keadilan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
3. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi global yang bermuara pada pertautan dan konvergensi telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informatika, dan karenanya mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam wawasan penyelenggaraan telekomunikasi;
4. bahwa konsekuensi perubahan mendasar dalam wawasan penyelenggaraan telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali mengenai penyelenggaraan telekomunikasi, dan karenanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, sehingga perlu diganti dengan Undang-undang Telekomunikasi yang baru.
Konsekuensi dari pola pemikiran dari considerans di atas, mengharuskan uraian yang lebih rinci di dalam Penjelasan Umum.

J.3. Konvergensi Telekomunikasi dan Penyiaran
Menurut RUU Telekomunikasi, telekomunikasi diartikan sebagai setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda- tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. (Pasal 1). Sedangkan UU Penyiaran mengartikan penyiaran sebagai kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan gelombang elektromagnetik, kabel, serta optik, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima oleh masyarakat dengan pesawat penerima siaran radio dan/atau pesawat penerima siaran televisi, atau perangkat elektronik lainnya dengan atau tanpa alat bantu. (Pasal 1) Adakah perbedaan yang hakiki dari kedua pengertian ini ? Apakah perbedaan antara pemancaran,. Pengiriman dan atau penerimaan di satu sisi dengan kegiatan pemancarluasan di sisi lain ? Dari titik inilah, persoalan pengaturan yang tumpang tindih tentang telekomunikasi dan penyiaran dalam RUU Telekomunikasi dan UU Penyiaran dimulai !
Pemberian defenisi telekomunikasi sebagaimana diurakan di atas, masih perlu diubah. Barangkali baik jika dibandingkan dengan apa yang diatur di Pilipina -----lihat Republic ACT----- yang merumuskan bahwa telecommunication is any process which enables a telecommunications entity to relay and receive voice, data, electronic messages, written or printted matter, fixed or moving pictures, words, music or visible or audible signals or any control signals of any design and for any purpose by wire, radio or other electromagnetic, spectral, optical or technologycal means. Demikian halnya dengan pendefenisian tentang Pemancar Radio yang diartikan sebagai alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio. Di Pilipina, penyiaran yang sangat berkaitan dengan masalah pemancar radio ini diartikan sebagai an undertaking the object of which is to transmit over-the-air commercial radio or television messages for reception of a broad audience in a geographic area. Dalam RUU Telekomunikasi ini, penyiaran



22

dimasukkan dalam kelompuk Telekomunikasi Khusus, yang masih akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam posisi ini peran pemerintah masih sangat dominan. Inilah ciri paradigma RUU Telekomunikasi ini, suatu paradigma monopoli Pemerintah yang seharusnya sudah ditinggalkan. Sebab, dalam tataran yang demikian akan menghambat free flow of information, people right to know dan peoples right to communicate.
Telekomunikasi dikuasai oleh Negara, dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah (Pasal 4 ayat (1)). Pelaksanaan kegiatan pembinaan di bidang telekomunikasi meliputi penetapan kebijaksanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang hidup dalam masyarakat serta perkembangan global (Pasal 5). Pola pengaturan yang demikian, ---pembinaan dan perizinan--- memberikan kesempatan yang sangat luas bagi Pemerintah atas nama Negara menumpukkan kekuasaan sebagai penentu policy dan objectives telekomunikasi dan pemegang kekuasaan adminsitrative and quasi judicial fuction. Padahal asas demokrasi perlu ada check and balance serta power sharing. Dengan demikian bentuk paling ideal adalah:
• Negara yang diwakili Pemerintah cq. Menteri hanyalah peletak policy dan objectives
dari telekomunikasi;
• Administratives dan Quasi-judicial function, harus berada pada sebuah autonomous/independent regulatory body yang terpisah dari Pemerintah cq. Menteri. Di Pilipina disebut National Telecommunication Commision.
Karena itu, seharusnya diciptakan suatu sistem yang mewadahi keinginan ini, dengan membentuk sebuah badan publik non pemerintah yang outonomus untuk melakukan pengaturan, pengawasan, dan pengendalian telekomunikasi.

Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, yaitu kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
b. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yaitu kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
c. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus, yaitu kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan telekomunikasi untuk keperluan sendiri, keperluan dinas khusus atau pertahanan kemanan negara. (Pasal 7 ayat (1))
Keseluruhan pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 8 ayat (3)). Pengaturan yang demikian merupakan pengaturan CEK KOSONG yang menyerahkan secara sepenuh-penuhnya kepada Pemerintah untuk mengaturanya lebih lanjut. Pemikiran yang demikian tidak benar dan tidak tuntas, serta cenderung memperlihatkan ketidaksiapan DPR dalam memberikan kontribusinya.
Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus antara lain untuk keperluan:
a. meteorologi dan geofisika b. televisi siaran
c. radio siaran d. navigasi
e. penerbangan
f. pencarian dan pertolongan kecelakaan g. amatir radio
h. komunikasi radio antar penduduk, dan
i. penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus instansi pemerintah tertentu/swasta. (Penjelasan Pasal 7 huruf c).
Penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat dilakukan oleh:
a. Koperasi;
b. BUMD atau BUMN, yang bentuk usahanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku menyelenggarakan jaringan atau jasa telekomunikasi;





23

c. Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas, yang bentuk usahanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku menyelenggarakan jaringan atau jasa telekomunikasi.
(Pasal 8 ayat (1)).
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh:
a. Perseorangan b. Dinas Khusus
c. Instansi Pemerintah Tertentu
d. Instansi Pertahanan Keamanan Negara (Pasal 8 ayat (2)).
Memperhatikan pengaturan sebagaimana diuraikan di atas, maka sesungguhnya RUU Telekomunikasi mengatur sedemikian rupa perihal penyiaran (televisi siaran dan radio siaran) dalam kelompok pemain ketiga, yaitu Telekomunikasi Khusus. Ini berarti secara tegas hendak dikatakan bahwa masalah penyiaran masuk dan bagian dari materi muatan RUU Telekomunikasi. Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya memberi batasan yang tegas antara “kavling” RUU Telekomunikasi dengan UU Penyiaran. Artinya, bagaimana memberikan pemahaman yang jelas, antara apa yang diatur dalam RUU Telekomunikasi dan UU Penyiaran. Di masyarakat terlanjur berkembang pemahaman bahwa apa yang diatur dalam RUU Telekomunikasi adalah masalah infra structure-nya, sedangkan yang diatur dalam UU Penyiran adalah masalah content-nya. Pertanyaannya, adalah apakah pemahaman seperti ini menjadi benar dan tidak bermasalah ? Atau apakah dapat dipisahkan secara hitam putih, kalau penumpang-nya diatur oleh Departemen Penerangan dan tunduk pada UU Penyiaran sedangkan pesawat-nya diatur oleh Departemen Perhubungan dan tunduk pada RUU Telekomunikasi ? Apakah tidak lebih arif dan bijak jika kedua materi ini diatur dalam satu atap, satu undang-undang saja.

J.4. Hasil Studi PRSSNI/MPPI : Komisi Penyiaran Indonesia
Dalam memberikan telaahan yang lebih mendalam terhadap materi muatan batang tubuh RUU Telekomunikasi, utamanya yang (sangat) berhubungan, bertautan dan berkonvergensi dengan masalah-masalah penyiaran, perlu rasanya untuk menguraikan secara makro bagaimana PRSSNI dan MPPI menempatkan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai suatu alternatif bijak. Hasil studi ini, sudah dituangkan dalam Naskah AKADEMIS dan Draft RUU Penyiaran.
Di dalam RUU Penyiaran versi PRSSNI dan MPPI, sudah disiapkan suatu konsep yang lebih filosofis, lebih sosiologis dan lebih politis, dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi pengaturan masalah ranah publik ini di masa mendatang.
Filosofi berpikir yang diajukan lebih awal adalah menemukenali dengan baik dan benar, apakah dan pada areal manakah sebenarnya bisnis penyiaran dijalankan. Bisnis penyiaran termasuk bisnis unik, karena ia menggunakan salah satu sarana medianya yang memakai spektrum gelombang elektromagnetik ---baca: frekuensi--- sebagai salah satu bagian dari ranah publik, yang jumlahnya terbatas dan tunduk pada regulasi internasional. Keunikannya yang lain adalah karena pemancaran maupun penerimaannya berlangsung serentak serta dapat diterima secara bebas oleh seluruh khalayak pendengar dan penontonnya. Penyiaran, sebagai salah satu media penyiaran elektronik menghasilkan informasi. Artinya, penyiaran menyediakan dan menyalurkan informasi kepada masyarakat pendengarnya. Transpormasi arus informasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Bahkan Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia telah memposisikan dan menempatkan kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi bersumber dari kedaulatan rakyat sebagai salah satu hak asasi yang hakiki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konsekuensi pengaturan yang demikian maka pada tataran yang lebih operasional, dibutuhkan sistem hukum penyelenggaraan penyiaran yang harus memberikan jaminan bagi berlangsungnya arus informasi untuk pelaksanaan kehidupan yang lebih demokratis. Jaminan hukum ini memberikan pengakuan yang tegas akan hak setiap orang untuk mendapatkan informasi, utamanya melalui penyelenggaraan penyiaran melalui jasa penyiaran. Dan karenanya seharusnya tidak boleh ada hambatan, gangguan, dan ancaman. Sebab



24

penyelenggaraan penyiaran merupakan salah satu pilar penting dalam kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara.
Karena itu tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa penyelenggaraan penyiaran ditempatkan sebagai salah satu sarana strategis bagi seluruh komponen bangsa, guna mencerdaskan kehidupan bangsa yang lebih demokrastis. Artinya, diyakini dan dipahami bahwa penyiaran memiliki potensi dan pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, gagasan, perasaaan dan perilaku manusia. Di samping itu, juga memiliki peran penting dalam mendorong terciptanya sistem perekonomian yang kuat dan sehat.
Pemahaman dan penempatan penyelenggaraan penyiaran pada posisi strategis, terutama disebabkan oleh keunikan salah satu karakter medium penyiaran radio yang menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik sebagai ranah publik. Spektrum gelombang elektromagnetik itu merupakan sumber daya terbatas yang harus dimanfaatkan secara optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian halnya dengan orbit satelit. Oleh karena itu, spektrum gelombang elektromagnetik dan orbit satelit inilah yang dinyatakan sebagai “ yang dikuasai negara”.
Penyelenggaraan penyiaran yang menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik, menghasilkan public goods yang strategis, karena materi siarannya dianggap merefleksikan kepentingan umum untuk mewujudkan hak asasinya memperoleh informasi. Oleh karena itu, menjadi pas kalau kemudian masyarakat turut serta dalam menyumbangkan pemikiran untuk membuat tentang apa yang akan diharapkannya dari penyelenggaraan penyiaran secara optimal.
Tujuan utama (ultimate goals) penyelenggaraaan penyiaran dalam rangka pemberdayaan masyarakat Indonesia yang heterogen dapat dilakukan dengan cara melakukan awas sosial, menyampaikan penjelasan atas informasi dan fakta-fakta, menyampaikan dan mensosialisasikan nilai-nilai dan menyampaikan hiburan. Keseluruhan cara ini, pada hakekatnya akan bermuara pada peningkatan kualitas demokrasi serta menunjang pertumbuhan perekonomian nasional sesuai dengan karakter, jenis dan sifat jasa penyiaran itu sendiri. Sifat dan karakteristik jasa media penyiaran yang demikian melahirkan gagasan dan harapan akan perlunya suatu regulator yang bersifat outonomous untuk mengelola dan mengatur (administratives and qoasi yudicials) penyelenggaraan lembaga penyiaran. Namanya, Komisi Penyiaran Indoneia. Dalam pelaksanaannya, bisnis penyiaran harus konsisten menjaga nilai moral dan kepribadian bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Spektrum gelombang elektromagnetik dan orbit satelit dikuasai negara. Pengaturan penggunaan spektrum gelombang elektromagnetik dan orbit satelit untuk penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI adalah lembaga regulasi penyiaran yang outonomus yang bertanggungjawab ke DPR-RI. KPI berfungsi mewakili kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik akan penyiaran, yang dilakukan melalui:
a. Penetapan standar mutu siaran dan keanekaragaman siaran;
b. Optimalisasi dan ketertiban penggunaan spektrum gelombang elektromagnetik;
c. Perlindungan HAM untuk mendapatkan informasi;
d. Pengaturan infrastruktur bidang penyiaran, dan
e. Pengaturan persaingan yang sehat antarlemabag penyiaran.
KPI terdiri atas Dewan Eksekutif dan Dewan Pertimbangan. Ketua dan Anggota Dewan Eksekutif serta ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan dipilih oleh DPR-RI atas usulan dari kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat yang berkaitan dengan penyiaran, dan ditetapkan Kepala Negara. Masa jabatan Ketua dan Anggota Dewan Eksekutif serta Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan lima tahun dan dapat dipilih kembali. Pendanaan KPI berasal dari APBN dan usaha-usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Dewan Eksekutif KPI mempunyai tugas:
a. menyusun dan menetapkan pengaturan penyelenggaraan penyiaran Indonesia;
b. menerbitkan atau tidak menerbitkan izin, memperpanjang atau tidak memperpanjang izin, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran izin, dan



25

c. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti keluhan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakata terhadap penyelenggaraan penyiaran.
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Dewan Eksekutif harus memperhatikan masukan dari Dewan Pertimbangan. Dewan Eksekutif bersifat mandiri dan tidak mempunyai kepentingan- kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan KPI.
Dewan Pertimbangan KPI berasal dari unsur tokoh dan ahli pendidikan, agama, kebudayaan, hukum, organisasi lembaga penyiaran, organisasi profesi penyiaran, dan organisasi kemasyarakatan yang terkait dengan kegiatan penyiaran. Atas dasar kepentingan dan aspirasi publik, Dewan Pertimbangan mengawasi penyelenggaraan tugas Dewan Eksekutif. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Pertimbangan memperhatikan masukan dari komunitas penyiaran.

J.5. Mensinergikan KPI dalam RUU Telekomunikasi
Karena penyiaran, baik televisi dan radio dalam Draft RUU Telekomunikasi diatur dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, maka sebaiknya masalah KPI masuk di bab ini, dengan cara menambah satu pasal lagi.
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus penyiaran diatur oleh Komisi
Penyiaran Indonesia.
(2) Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga regulasi penyiaran yang outonomus yang bertanggung jawab kepada DPR-RI.
(3) Komisi Penyiaran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tunduk pada
Undang-undang mengenai Penyiaran dan Undang-undang mengenai Pers.
Penekanan KPI tunduk pada Undang-undang Penyiaran dan Undang-undang Pers, karena kedua undang-undang ini tidak dapat dipisahkan dari segala aktivitas KPI. UU Pers terutama disebabkan konsekuesni adanya PERS ELEKTRONIK, sedangkan UU Penyiaran menjadi sarana utama pengaturan dan pelaksanaan tugas KPI.
Dengan uraian ini, maka Komisi Telekomunikasi Indonesia, dapat di”format” secara analog dengan Komisi Penyiaran Indonesia.

J.6. Catatan lain
Sejalan dengan uraian filosofis pada bagian konsiderans Menimbang, maka Asas dan Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi harus diubah. Diusulkan sebagai berikut telekomunikasi adalah public utilities dan bagian dari ranah publik sebagai salah satu sarana transformasi informasi, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, harus dijaga, dimanfaatkan dan diperuntukkan secara optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan melihat permasalahn makro yang diuraikan di atas, maka PRSSNI dan MPPI memandang perlu untuk menyatakan bahwa pembahasan RUU Telekomunikasi ini membutuhkan tenaga, pikiran dan waktu serta “bergandengan tangan” dengan pembahasan RUU Penyiaran. Sehingga, jika perlu pembahasan RUU Telekomunikasi ini ditunda saja dan diberikan kesempatan lebih luas kepada seluruh lapisan masayarakat untuk memberikan masukan yang lebih komprehensif, utamanya dalam mengantisipasi perubahan wawasan penyelenggaraan telekomunikasi dan penyiaran secara nasional, regional, dan internasional. Sudah seharusnya RUU Telekomunikasi dan RUU Media Massa (baca: UU Penyiaran) dikemas dan dibahas bersama untuk dijadikan satu undang-undang saja.
Untuk mewujudkan pembahasan yang lebih intensif, PRSSNI dan MPPI, perlu membentuk Komisi Independent yang bersifat Ad Hock yang bertanggungjawab atas nama negara, untuk mensinergikan dan beraliansi secara strategis, yang keanggotaannya terdiri para pakar, untuk melakukan study comprehensive bagi penyusunan RUU dengan mengakomodir pokok-pokok pikiran yang berkenaan dengan masalah telekomunikasi dan penyiaran. Komisi seperti ini pernah dilakukan di Kanada yang disebut Fowler Commision. Komisi ini diyakini mempunyai waktu yang cukup banyak untuk melahirkan undang-undang yang terbaik yang menjamin hak-hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan, baru dikirimkan ke DPR-RI.



26

Melengkapi pandangan umumnya ini, MPPI menyatakan sikapnya terhadap pembahasan RUU Telekomunikasi yang saat ini sedang dibahas sebagai berikut.
1. bahwa telekomunikasi adalah public utilities dan bagian dari ranah publik yang menghasilkan public goods berupa INFORMASI, karena itu dalam mensikapi pembahasan RUU Telekomunikasi perlu mendudukkan filosofis pembahasan dengan menempatkan beberapa pokok pikiran sebagai berikut.
a. sesuai amanat Pasal 33 UUD 945, maka telekomunikasi harus dikuasai negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. sesuai dengan amanat Pasal 28 UUD 1945, maka pemaknaan telekomunikasi harus didudukkan dalam kaitannya dengan jaminan kebebasan menyatakan pendapat sebagai bagian dari kedaulatan rakyat;
c. sesuai dengan amanat Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, maka informasi sebagi public goods dari telekomunikasi harus dijamin
(lihat Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 42);
d. sesuai dengan amanat konstitusi dan paham suatu negara yang demokratis, maka peranan monopoli pemerintah untuk membina, mengatur dan mengeksekusi telekomunikasi harus diperkecil sedemikian rupa sampai ke tahap fasilisator belaka, sedangkan peran yang lebih besar diserahkan kepada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu Badan Indepenen yang berfungsi mengoptimalkan pemanfaatan telekomunikasi bagi sebesar-besarnya kemamuran rakyat.
e. Bahwa materi muatan RUU Telekomunikasi tidak dapat dipisahkan dari materi muatan UU Penyiaran, bahkan sangat berhubungan, bertautan dan berkonvergensi. Karena itu, pembahasan RUU Telekomunikasi ini harus dilakukan bersama-sama dengan UU Penyiaran. Bahkan sangat dimungkinkan untuk membahas kedua materi muatan undang-undang ini menjadi satu undang-undang saja. Sehingga pengalaman yang selama ini, khususnya penyiaran yang diharuskan melalui sistem dua atap segera diakhiri.
f. Bahwa melihat urgensi pembahasan materi muatan RUU Telekomunikasi, MPPI memandang tidak pada tempatnya untuk melakukan pembahasan yang terkesan dipaksakan, terkesan terburu-buru, dan terkesan tidak berpihak kepada masyarakat. Oleh karena itu secara tegas, MPPI menyatakan bahwa:
• Mendesak Komisi IV DPR RI untuk segera menunda pembahasan materi RUU Telekomunikasi ini sampai benar-benar keberpihakan RUU Telekomunikasi ini kepada masyarakat terjamin;
• Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas RUU Telekomunikasi dan RUU Penyiaran (atau RUU Media Massa) dalam suatu kepanitiaan;
• Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk memberikan kesempatan yang seluas- luasnya bagi masyarakat telekomunikasi dan masyarakat penyiaran memberikan masukan yang sebesar-besarnya sehingga kebutuhan masyarakat untuk mengakses informasi sebagai bagian dari hak asasinya terjamin;
• Mendesak DPR RI dan Pemerintah agar dalam mengatur masalah telekomunikasi ini didasarkan para paradigma baru yaitu demokratisasi, telekomunikasi sebagai public utilities bagian dari ranah publik, dan pentransformasian informasi sebagai hak asasi manusia, dan komisi independen pengatur telekomunikasi.
Demikian halnya dengan PP PRSSNI, melengkapi pandangan umumnya, menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut.12 PP PRSSNI Menolak Pembahasan RUU Telekomunikasi dengan alasan:
• Pengaturan telekomunikasi dalam RUU Telekomunikasi tersebut tidak sesuai dengan paradigma baru tentang telekomunikasi yang harus dikelola dengan memperhatikan demokrasi, kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia agar tidak terkesan monopoli;

12 Pernyataan Sikap ini dikeluarkan dengan Nomor 168.B/PP.PRSSNI/VI/1999 yang ditandatangani oleh H Soetojo Soekomihardjo sebagai Ketua Umum dan H Shidki Wahab selaku Sekretaris Umum, tanggal 28 Juni 1999.



27

• Tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sebab menurut PP PRRSNI memandang telekomunikasi adalah ranah publik yang harus diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
• Telekomunikasi adalah public utilities yang mentransformasikan informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia;
• Pembahasan RUU Telekomunikasi haruskomprehensif dan simultan dengan RUU Penyiaran guna mencegah terjadinya peraturan yang ganda tentang penggunaan frekuensi sebagai alat transformasi yang menjadi hak masyarakat;
• Pemerintah terkesan terburu-buru dan memaksakan selesainya RUU Telekomunikasi.

K. Pandangan APNATEL terhadap RUU Telekomunikasi13
Ada tiga pokok pikiran besar yang disampaikan APNATEL dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IV DPR RI terhadap materi yang diatur dalam RUU Telekomunikasi sebagai berikut.
Pertama, pendekatan teknologi. Kelihatannya RUU Telekomunikasi lebih menitikberatkan kepada pendekatan teknologi telekomunikasi saja serta tidak menyinggung mengenai konvergensi antara telekomunikasi dengan informasi teknologi (komputer) dan multimedia. Oleh karena itu diusulkan agar pendekatan teknologi dalam RUU Telekomunikasi diubah dengan menggunakan npendekatan telematika. Hal ini tidak bisa dielakkan lagi, sebab dewasa ini telah terjadi konvergensi antara teknologi telekokumunikasi dengan industri komputer dan multimedia. Di luar konvergensi tersebut dikenal sebagai INFOCOM.
Kedua, asosiasi-asosiasi di bidang telematika sebagai mitra badan pembina telematika. Dalam RUU Telekomunikasi dinyakatakan akan memperhatikan pandangan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu diusulkan agar di dalam Penjelasan RUU Telekomunikasi dinyatakan bahwa pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat antara lain diperoleh dari asosiasi-asosiasi di bidang telematika yang diakui keberadaannya oleh pemerintah. Hal ini menjadi penting agar menjadi jelas bahwa pembina telematika di dalam mengeluarkan kebijaksanaan akan betul-betul memperhatikan masukan-masukan dari para pelaku telematika di Indonesia.
Ketiga, hak eksklusivitas. Hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat agar segerea setelah diundangkannya RUU Telekomunikasi (tidak harus menunggu sampai dengan tahun
2004) dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Misalnya, sentral-sentral yang nilai deprisiasinya sudah nol agar dihibahkan kepada koperasi di bidang telematika. Hal ini menjadi penting dalam rangka mempersiapkan kesejahteraan dan kemampuan pelaku/pengusaha nasional dalam menghadapai era perdagangan bebas dimana pelaku/pengusaha nasional harus berkompetisi dengan perusahaan lain.
Keempat, mengutamakan perusahaan daerah. RUU Telekomunikasi harus menyebutkan secara jelas bahwa pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana telematika oleh BUMN akan mengutamakan kepentingan perusahaan daerah. Hal ini penting sesuai dengan perkembangan politik nasional yang akan datang bahwa pemerintahan di daerah akan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Kelima, pemenuhan kebutuhan sarana telematika bagi seluruh wilayah Indonesia. Artinya, penyelenggara PSTN wajib memenuhi kebutuhan telematika bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpencil. Dalam rangka mempercepat pencerdasan bangsa, sehingga jurang penguasaan teknologi antara penduduk perkotaan dengan pedesaan menjadi kecil.
Keenam, masalah interkoneksi. Diaturnya masalah inerkoneksi dalam RUU Telekomunikasi merupakan kabar yang menggembirakan, sebab diyakini dapat menyehatkan kompetisi bisnis antar pelaku telematika.



13 Bahan Masukan yang disampaikan APNATEL kepada Komisi IV dalam Rapat Dengar Pendapat
Umum tanggal 28 Juni 1999.



28

Ketujuh, tentang terbukanya perizinan bagi penyelenggara jaringan telekomunikasi, merupakan berita yang menggembirakan karena akan membuka suatu iklim kompetisi yang sehat.

L. Catatan Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia14
APJII memandang bahwa ternyata RUU Telekomunikasi masih sangat banyak merujuk ke Peraturan Pemerintah, seperti Pasal 8, 9, 10, 14, 15, 16, 18, 25, 26, 27, 30, 31,
32, 34, 35, 36, 37 dan Pasal 41. Sebaiknya dibuat suatu bab tambahan yang mengatur tentang Peraturan Pemerintah di bidang telekomunikasi sebagaimana disebutkan dalam pasa-pasal tersebut yang tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau dianggap dapat merugikan masyarakat secara umum, dapat diajukan ke DPR untuk dimintai keterangan dan direvisi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah disalahgunakannya Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri di bidang telekomunikasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Beberapa materi muatan batang tubuh RUU Telekomunikasi perlu diperjelas makna dan maksud perumusannnya, diantaranya:
a. perlunya klarifikasi dan definisi yang jelas tentang pelayanan universal;
b. standar pelayanan dapat dibuat oleh asosiasi industri atau badan pemerintah terkait;
c. makan “keamanan negara” masih dapat disalahgunakan oleh penguasa untuk kepentingan kelompok tertentu, sebaiknya dihapuskan saja;
d. mengenai content sebaiknya diatur dalam undang-undang lain. Ibarat sebuah koran, telekomunikasi hanyalah percetakan bukan sebagai penerbit;
e. perlu ditambahkan bahwa permintaan penomoran oleh penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran dengan mempertimbangkan proses dan peraturan-peraturan yang telah diakui dan disepakati secara internasional;
f. diusulkan ditambahkan bahwa setiap penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi harus menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi lainnya. Setiap penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi lainnya.
g. diusulkan ditambahkan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan telekomunikasinya.
h. diusulkan bahwa besaran tarif dasar penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dapat ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah. Penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan tarif di luar tarif dasar berdasarkan diferensiasi pelayanan yang diberikan.
i. diusulkan agar pengguna orbit satelit wajib membayar biaya penggunaan orbit satelit di wilayah angkasa Republik Indonesia sesuai kesepakatan dan peraturan internasional dan besarnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j. diusulkan bahwa dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pemakai jaringan dan atau jasa telekomunikasi, penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman atau pencatatan pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pemakai jaringan dan atau jasa telekomunikasi, dan dapat melakukan perekaman dan pencatatan berita sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

M. Pandangan Umum Fraksi-fraksi di DPR RI M.1. Fraksi Karya Pembangunan (FKP)15


14 Disampaikan oleh Sanjaya, Sekretaris Jenderal APJII pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan
Komisi IV DPR RI tanggal 27 Juni 1999.



29

Dalam catatan awalnya, FKP memberikan alasan kuat perlunya pembahasan RUU Telekomunikasi untuk pempurnaan dan perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi adalah sebagai berikut.
1. Perkembangan global yang menimbulkan realita baru, dimana struktur pasar termasuk pasar telekomunikasi telah berubah dari monopoli menjadi persaingan.
2. Tuntutan pengaruh globalisasi, dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang pesat menyebabkan terjadinya perubahan sangat mendasar dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang antara lain telah menyebabkan beralihnya fungsi telekomunikasi tidak sebagai utilitas juga telah menjadi komoditas perdagangan.
3. Realita baru juga telah menyebabkan meningkatnya peran masyarakat/swasta yang secara tidak langsung menimbulkan tuntutan bergesernya peran pemerintah sebagai penyelenggara yang melaksanakan pembangunan serta penyelenggaraan telekomunikasi menjadi sebagai pembina yang hanya menentukan kebijaksanaan pengaturan serta pengendalian sektor telekomunikasi.
4. Ketetapan Sidang Istimewa MPR-RI Tahun 1998 mengenai "Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara", mengamanatkan agenda kebijaksanaan reformasi pembangunan termasuk (a) Pelaksanaan deregulasi ketetapan-ketetapan yang menghambat investasi, produksi, distribusi, dan perdagangan; dan (b) membuat perekonomian lebih efisien dan kompetitif dengan menghilangkan praktek monopoli serta mengembangkan sistem insentif yang mendorong efisiensi dan inovasi. Menindaklanjuti Ketetapan MPR-RI tersebut di atas, Pemerintah bersama DPR-RI telah
melahirkan Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Undang-undang Perlindungan Konsumen serta Undang-undang lain yang terkait. Konsekuensi logisnya adalah penyelenggaraan telekomunikasi juga memerlukan Undang- undang yang sesuai dengan Undang-undang yang baru lahir tersebut.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, titik berat penyempurnaan/perubahan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 menurut FKP adalah sebagai berikut.
Pertama, penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi dibedakan atas jasa telekomunikasi dasar dan telekomunikasi bukan dasar, tetapi dibedakan menjadi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Kedua, penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi hanya diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Telekomunikasi, tetapi dapat diselenggarakan pula oleh Badan Hukum lain.
Ketiga, kewajiban penyelenggara telekomunikasi untuk memberikan kontribusi dalam
USO (Universal Service Obligation).
Ketiga materi pokok tersebut menyangkut ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Bab Penyelenggaraan/Pasal-pasal Penyelenggaraan. Mengingat pasal-pasal dalam suatu undang-undang berkaitan satu dengan yang lain, maka ketentuan-ketentuan lainnya yang terkait disesuaikan, termasuk konsideran, batang tubuh, maupun penjelasannya.
FKP juga menyampaikan beberapa harapannya, sebagai refleksi yang FKP terima berdasarkan kajian maupun telaahan terhadap masukan-masukan yang didapatkan maupun aspirasi yang berkembang yang disampaikan oleh masyarakat.
1. Undang-undang Telekomunikasi yang baru hendaknya dapat mengakomodasikan konvergensi telekomunikasi, informasi dan penyiaran. Konvergensi antara telekomunikasi, informasi, dan penyiaran sudah merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan.
2. Dalam era kompetisi dimana peran swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi sangat meningkat maka diperlukan suatu lembaga yang profesional, mandiri yang bersama pemerintah dapat menghasilkan regulasi, pengawasan, pengendalian sehingga



15 Lihat Pengantar Musyawarah Fraksi Karya Pembangunan DPR RI terhadap RUU Telekomunikasi, Jakarta 12 Juli 1999.



30

tercipta perlindungan konsumen, lingkungan persaingan yang sehat, serta suksesnya pembangunan maupun penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia.
3. Tantangan globalisasi (kesepakatan internasional), perkembangan teknologi
(konvergensi) dan perkembangan ekonomi (kompetisi, aliansi) telah menuju kepada aturan main sendiri (self regulatory industry). Untuk ini dalam Undang-undang Telekomunikasi yang baru diwadahi adanya ketentuan tentang forum untuk memfasilitasi tercapainya sinergi dalam mencapai tujuan kebijaksanaan telekomunikasi sebagai konsepsi tentang pelaksanaan peran masyarakat.
4. Penyelenggaraan telekomunikasi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan yang selalu meningkat dan berkembang memerlukan persyaratan usaha, keahlian maupun ketrampilan sumber daya manusianya. Untuk itu undang-undang Telekomunikasi yang baru segogyianya juga mewadahi cerminan konsepsi kualitas usaha maupun keahlian dan keterampilan.
5. Kewajiban USO tetap perlu ditegaskan dengan ketentuan dalam Undang-undang
Telekomunikasi yang baru.
6. Seiring dengan era globalisasi, khususnya dalam rangka menyongsong pemberlakuan AFTA dan WTO, diperlukan adanya ketentuan dalam Undang-undang Telekomunikasi yang baru berkaitan dengan penyelenggaraan Telekomunikasi oleh Badan Hukum Asing baik secara langsung maupun tidak langsung.
7. Untuk menjaga persaingan yang sehat, maka ketentuan tentang tarif diharapkan akan menguntungkan baik bagi pengguna jasa/masyarakat maupun bagi penyedia jasa, serta mendukung kelangsungan hidup penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
8. Pengamanan Telekomunikasi merupakan salah satu aspek yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam kaitan ini FKP berpendapat bahwa pengamanan telekomunikasi yang meliputi pengamanan fisik, pengamanan transmisi serta pengamanan kerahasiaan perlu ditegaskan oleh ketentuan dalam Undang-undang telekomunikasi yang baru.
9. Selanjutnya secara keseluruhan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Telekomunikasi yang baru harus dapat menjaga agar iklim usaha tetap sehat serta komitmen dalam AFTA dan WTO, termasuk komitmen dengan mitra usaha (investor) baik nasional maupun asing tetap diperhatikan.
Dalam Era Indonesia Baru yang makin demokratis, yang menempatkan supremasi hukum sebagai titik berat progam nasional di satu pihak dan pihak lain dituntut untuk berpacu dengan perkembangan global yang makin pesat maka kehadiran Undang-undang Telekomunikasi ini sangat diperlukan. FKP menegaskan agar segera setelah berlakunya Undang-undang ini nanti, seluruh masyarakat Indonesia, terutama mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan telekomunikasi menjadikan Undang-undang Telekomunikasi sebagai pegangan secara konsisten dan konsekuen. Di samping itu Undang-undang Telekomunikasi ini nantinya benar-benar secara riil berlaku. Dengan demikian secara pelan tetapi pasti FKP mengharapkan penyelenggaraan telekomunikasi yang tertib dan menutup ruang gerak terjadinya penyimpangan dengan mempertegas adanya sanksi pidana dalam Undang-undang ini. Penyelenggaraan Telekomunikasi memiliki daya saing tinggi baik di tingkat regional maupun global, karena itu perlu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, ahli dan terampil.

M.2. Fraksi ABRI16
Dalam catatan awalnya, Fraksi ABRI memberikan alasan kuat untuk membahas RUU Telekomunikasi untuk menggantikan dan menyempurnakan Undang-undang Telekomunikasi Nomor 3 Tahun 1989.
Pertama, penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi dibedakan atas jasa telekotnunikasi dasar dan telekomunikasi bukan dasar, tetapi dibedakan menjadi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus;


16 Lihat Pengantar Musyawarah Fraksi ABRI terhadap RUU Telekomunikasi, tanggal 12 Juli 1999.



31

Kedua, penyelenggaraan telekomunikasi tidak hanya diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Telekomunikasi, tetapi dapat diselenggarakan pula oleh badan hukum lain
(Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Swasta dan Koperasi). HaI tersebut sesuai dengan Undang- undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi monopoli dari Badan Penyelenggara yaitu Badan Usaha Milik Negara;
Ketiga, mewajibkan kepada setiap penyelenggara jaringan dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi memberikan kontribusi dalam pelayanan di daerah yang belum berkembang atau belum terlayani jaringan telekomunikasi yang merupakan penugasan dari Pemerintah
(universal service obligation/USO).
Berdasarkan uraian di atas, keterangan pemerintah, dan aspirasi masyarakat telekomunikasi, Fraksi ABRI menyampaikan pokok-pokok pikiran yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Telekomunikasi, sebagai berikut.
1. Undang-undang ini harus mampu meningkatkan kinerja sektar Telekomunikasi
Indonesia menghadapi globalisasi.
2. Undang-undang ini harus mampu mempersiapkan sektor telekomunikasi Indonesia sesuai dengan kecenderungan global yang meninggalkan struktur monopoli dan beralih ke tatanan yang berdasar persaingan.
3. Undang-undang ini harus mampu meningkatkan transparansi dan kejelasan proses pengaturan (regulasi) sektor teIekomunikasi, sehingga investor mempunyai kepastian dalam membuat rencana penanaman modalnya.
4. Undang-undang ini harus mampu membuka lebih banyak kesempatan berusaha, terutama bagi pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dalam sektor telekomunikasi.
5. Undang-undang ini harus mampu melindungi konsumen jasa Telekomunikasi dalam hal kualitas pelayanan yang diterima, harga yang harus dibayar, dan variasi pilihan yang didapat.
Terhadap Rancangan Undang-undang tentang Telekomunikasi yang telah diajukan Pemerintah serta mencermati masukan-masukan yang diterima dari berbagai pihak, Fraksi ABRI menyampaikan beberapa komentar.
1. Istilah pelanggan, pemakai, pengguna telekomunikasi.
Dalam RUU Telekomunikasi terdapat kata pengguna telekomunikasi, terdapat kata pelanggan telekomunikasi dan terdapat kata pemakai jasa telekomunikasi. Untuk penggunaan istilah yang tepat, perlu diberikan pengertian yang jelas.
2. Asas-asas merupakan hal yang mendasar, sebagai pedoman dalam pelaksanaan undang- undang, Fraksi ABRI berpendapat bahwa untuk dapat terselenggaranya telekomunikasi yang baik dan benar, sangat setuju dengan asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum dan asas kepercayaan pada diri sendiri, namun masih perlu ditambahkan asas kemitraan dan keamanan. Asas kemitraan dimaksudkan agar hubungan kerja para pihak yang terkait dalam penyelenggaraan telekomunikasi dapat terlaksana secara harmonis, terbuka, bersifat timbal balik dan sinergis, sedangkan asas keamanan dimaksudkan agar terpenuhinya tertib penyelenggaraan telekomunikasi, yang mampu menjamin keamanan pemberitaan/informasi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum, yaitu : cepat, tepat, aman dan dapat dipercaya.
3. Menyangkut Tujuan
Dalam RUU Telekomunikasi disebutkan bahwa telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintah, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Fraksi ABRI berpendapat bahwa tujuan ini masih terlalu bersifat makro dengan jangkauan terlalu jauh kedepan, sehingga seolah identik dengan tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan nasional. Karena itu Fraksi ABRI menyarankan agar rumusan tujuan dimaksud, perlu dijabarkan kedalam hal-hal yang lebih nyata.



32

4. Masalah Pembinaan.
Dalam RUU Telekomunikasi disebutkan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah; diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi kebijaksanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi. Menyikapi hal ini ada keinginan masyarakat yang berkembang bahwa pembinaan telekomunikasi bukan hanya milik pemerintah, peran serta masyarakat melalui lembaga independen perlu diberi porsi yang cukup. Lebih-lebih dalam era kompetisi dimana terdapat multi operator, peran lembaga independen sangatlah diperlukan terutama untuk menjamin perlindungan konsumen dan terciptanya lingkungan persaingan yang adil, serta tercapainya pembangunan telekomunikasi Indonesia. Lembaga ini dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam hal pengaturan, pengawasan dan pengendalian telekomunikasi. Disisi lain, mengingat masih adanya "areal abu- abu" khususnya dalam bidang interkoneksi, yang dapat menimbulkan sengketa diantara operator, maka lembaga independen ini dapat diberi wewenang mengatur dan menjadi
arbiter bagi operator yang berselisih..
5. Masalah konvergensi antara telekomunikasi, informasi dan siaran.
Melihat kemajuan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat dewasa ini dan dimasa mendatang, terutama dengan berkembangnya internet dan multimedia, melihat juga masalah pembagian alokasi frekuensi sebagai sumber daya alam yang terbatas, dengan penggunaan telekomunikasi dan penyiaran (televisi dan radio); maka berbicara soal telekomunikasi mau tidak mau akan mengait kepada konvergensi. Sehingga di kalangan masyarakat ada pendapat bahwa bila masalah konvergensi multi bidang ini tidak diantisipasi dan ditangani sejak dini, dan sektor-sektor tersebut masih terkotak-kotak, Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menghadapi perubahan teknologi dan globalisasi. Dengan melihat kondisi di atas, dikaitkan juga dengan telah adanya Undang- undang Penyiaran (Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997), dan melihat juga bahwa di beberapa negara maju Undang-undang Telekomunikasi juga mencakup masalah broadcasting, kalangan masyarakat ini menyarankan sebaiknya Rancangan Undang- undang Telekomunikasi yang diajukan ini juga mencakup penyiaran. Bahkan pendapat ini juga sudah sekaligus disertai dengan saran nama; yaitu Undang-undang Telematika. Fraksi ABRI melanjutkan aspirasi masyarakat tersebut, meminta Pemerintah kiranya dapat memberikan tanggapan.
6. Penghapusan monopoli.
Dalam Rancangan Undang-undang Telekomunikasi maka penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi hanya diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara telekomunikasi, tetapi diselenggarakan pula oleh badan hukum lain (Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Swasta dan Koperasi). Selanjutnya dirumuskan dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara para penyelenggara telekomunikasi sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Fraksi ABRI sangat menghargai kedua rumusan ini karena telah membuktikan penerapan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga penyelenggaraan telekomunikasi tidak lagi monopoli dari Badan Penyelenggara yaitu Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya dalam Ketentuan Peralihan dinyatakan bahwa hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tetap berlaku kecuali ada kesepakatan antara Pemerintah dengan Badan Penyelenggara untuk mempersingkat masa berlakunya hak-hak tersebut. Fraksi ABRI dapat memahami rumusan-rumusan ini, karena hak-hak tertentu itu tidak bisa serta merta dicabut apabila nanti undang-undang ini diberlakukan. Namun kiranya akan sangat baik kalau hak-hak tertentu tersebut bisa diakhiri secepat mungkin. Untuk merealisasi




33

keinginan mengakhiri secepatnya hak-hak tertentu tersebut, diminta penjelasan
Pemerintah tentang konsep yang perlu/akan ditempuh.
7. Masalah ancaman pidana.
Menyangkut ketentuan pidana dalam RUU Telekomunikasi dirumuskan tentang ancaman hukuman berupa penjara dan atau denda. Hal ini berarti terhadap tindak pidana telekomunikasi dapat dijatuhkan comulatie lebih dari satu hukuman pokok. Walau demikian juga dijumpai misalnya pada Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi comulatie hukum dapat dijatuhkan yaitu hukuman badan dan denda tetapi pada hakekatnya satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok saja. Berkaitan dengan itu Fraksi ABRI mengharapkan penjelasan pemerintah mengenai latar belakang perumusan ketentuan pidana pada pasal-pasal tersebut.

M. 3. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 17

M.4. Fraksi Persatuan Pembangunan18
Dalam pengantar musyawarah, Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) membuat beberapa catatan awal terhadap RUU Telekomunikasi.
Pertama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi yang sangat cepat, sehingga aturan perundangan yang ada, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 sudah tidak memadai lagi dan tidak cukup dapat mengatur pelaksanaan pembangunan sektor telekomunikasi. Disatu sisi perkembangan teknologi komunikasi begitu cepat, bagaikan hitungan deret ukur, sedangkan pemerintah hanya dapat melakukannya dengan deret hitung, bahkan cenderung stagnan, itupun sebatas pada aturan perundangan di bawah undang- undang, baik yang berupa Peraturan Menteri, Keputusan Menteri serta Petunjuk Pelaksanaan
/teknis lainnya, oleh karena itu jangan sampai kepontal-pontal lagi. FPP sependapat kiranya agar segera dilakukan pembaharuan hukum tentang telekomunikasi ini.
Kedua, kemajuan yang pesat dalam teknologi komunikasi, informasi dan penyiaran secara konvergensif telah terjadi, sehingga tidak lagi dapat dibedakan secara signifikan antara teknologi dasar dan teknologi non dasar, keduanya sudah sangat berhimpitan dan mempunyai berbagai wajah, antara satu dengan yang lainnya. Contoh konkretnya adalah komputer, mau ditempatkan sebagai teknologi dasar atau teknologi advance, semua bisa, dan tergantung dari penggunanya. Oleh karena itu, perlu segera dirancang kembali adanya Undang-undang tentang Telekomunikasi yang lebih dapat mencakup, mengakomodasi terhadap berbagai dinamika perkembangan dan perubahan lingkungan strategis. Diperlukan pula ikhtiar bahwa dalam melakukan perencanaan terhadap Rancangan Undang-undang Telekomunikasi ini disadari oleh seluruh komponen masyarakat sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki dan menyempurnakan salah satu aspek pembangunan, ketika keinginan masyarakat harus dapat tertampung dalam reformasi pembangunan ini, termasuk adalah keinginan untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi dalam sektor telekomunikasi. Harus pula dihindari adanya akomodasi yang dipaksakan, artinya berbagai aturan yang dibuat klasnya di bawah undang-undang hanya semata-mata untuk dan atas nama akomodasi terhadap kemajuan teknologi komunikasi, dan oleh masyarakat dikelompokkan sebagai proses pengambilan kebijakan yang cenderung tidak transparan.
Ketiga, berkaitan dengan upaya reformasi yang dilaksanakan oleh Kabinet Reformasi Pembangunan sekarang ini, maka pesan-pesan moral-reformasi harus dilakukan oleh segenap masyarakat dan pemerintah, khususnya oleh pemerintah, terhadap RUU Telekomunikasi. Langkah reformatif ini antara lain juga diwujudkan dengan adanya Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli, Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai peraturan perundang-undangan yang telah mendahului. Pembahasan RUU Telekomunikasi harus mendapatkan porsi yang proporsional dalam rangka mendekati kerangka ideal dan dapat


17 Sampai tulisan ini dibuat tidak ditemukan Pengantar Musyawarah dari Fraksi PDI.
18 Lihat lebih lanjut Pengantar Musyawarah Fraksi Persatuan Pembangunan DPR RI yang disampaikan oleh Drs. A. Muqowam, Jakarta, 12 Juli 1999.



34

mencakup berbagai aspek dinamika masyarakat dan teknologi. Dengan adanya Undang- undang tentang Larangan Praktek Monopoli, pembahasan terhadap RUU Telekomunikasi secara dialektis memunculkan permasalahan, yaitu tentang Hak Eksklusif, apakah dengan melepas Hak Eksklusif (monopoli) yang selama ini didapat, tidak akan berpengaruh terhadap peranan pemerintah dalam kaitannya dengan fungsi pensejahteraan masyarakat, sehingga beban masyarakat apakah akan terpengaruh, ketika kita semua sepakat untuk tidak memberikan beban yang terlalu berat kepada masyarakat. Upaya untuk menghindari monopoli dan tidak sehatnya kompetisi dikaitkan dengan Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam penyelenggaraan telekomunikasi perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu RUU Telekomunikasi harus memuat ketentuan yang jelas tentang larangan secara spesifik dalam bisnis telekomunikasi, untuk itu kiranya pemerintah dapat memberikan penjelasan terlebih dahulu terhadap hal itu. Keempat, dalam kaitan dengan peningkatan pembangunan dan pelayanan umum, maka upaya pembaharuan hukum telekomunikasi harus dapat meningkatkan Universal Service Obligation (USO), sehingga kehadiran UU Telekomunikasi yang baru nantinya dapat
dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan catatan awal di atas, FPP memerlukan tanggapan dari pemerintah terhadap berbagai permasalahan yang muncul, baik yang didapat melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai kelompok masyarakat maupun yang tidak melalui RPD dan RDPU, antara lain adalah sebagai berikut.
1. Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah melalui Departemen Perhubunga, cq. Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi telah melakukan berbagai kajian, analisis, dalam persiapan dan perubahan terhadap sektor telekomunikasi, dimana nuansa reformasi, kompetisi dan perubahan ke arah telekomunikasi yang sehat telah terlihat di dalam analisisnya dan yang cukup penting adalah Blue Print (Cetak Biru) Pembangunan Telekomunikasi. Oleh karena itu melalui pengantar ini, kiranya Pemerintah dapat memberikan gambaran dan arah yang jelas mengenai hal tersebut.
2. Dalam RUU Telekomunikasi terdapat rumusan-rumusan, baik Penyelenggara jaringan telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi, maupun telekomunikasi khusus. Oleh karena itu melalui pengantar musyawarah ini FPP mohon penjelasan keterkaitan ketiga hal tersebut, bila dikaitkan dengan nuansa semangat yang ada dalam RUU Telekomunikasi ini, yaitu reformatif, transparan, adil, tidak monopolistik, melindungi masyarakat, efektif dan efisien. Hal ini penting, sebagai salah satu upaya meletakkan fungsi dan tujuan telekomunikasi secara tepat. Dan juga mohon kiranya pemerintah dapat memberikan penjelasan tentang visi telekomunikasi Indonesia.
3. Perkembangan teknologi komunikasi, teknologi informasi dan broadcast (penyiaran) cenderung konvergen dan sebagai suatu proses yang tidak dapat terhindarkan, sehingga segenap tatanan nasional yang perlu sesuai dan serasi dengan semakin konvergennya ketiga bidang tersebut, sehingga pemerintah harus lebih antisipatif terhadap paradigma tersebut, termasuk perubahan akan peran dan fungsi serta pengawasannya. Oleh karena itu, menurut hemat FPP, perlu kiranya Pemerintah memberikan penjelasan atas konvergensi tersebut, dan juga terhadap paradigma telekomunikasi (telekomunikasi dan informasi), yang akan memberikan makna totalitas dalam RUU Telekomunikasi ini dan juga bila dikaitkan dengan ketentuan tentang Pers dan Media Massa.
4. Dengan RUU Telekomunikasi ini, maka status monopoli dan duopoli yang diberikan kepada badan penyelenggara (PT. Telkom dan PT. Indosat) akan segera berakhir dan di lain pihak pemerintah perlu memberikan jaminan kepada para investor yang berupa Hak Eksklusif kepada PT. Telkom sampai dengan Tahun 2005 dan 2010 serta kepada PT. Indosat sampai dengan tahun 2004. Terhadap hal ini, bagaimana pandangan pemerintah terhadap hal, bila dikaitkan dengan jaminan dan kepastian hukum.
5. Seiring dengan euforia kebebasan sekarang ini, adanya berbagai tuntutan untuk memperbaiki aturan main di segala bidang nampaknya relevan untuk diaktualisasikan, sekaligus sebagai wujud pengharkatan terhadap wujud partisipasi masyarakat dalam bingkai kehidupan berbangsa. Oleh karena itu dalam era kompetisi dan dengan



35

meningkatnya peran swasta selaku penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi, perlu kiranya dipikirkan adanya lembaga independen (Independent Regulatory Body) yang mengatur, menjalankan fungsi regulasi, fungsi arbitrase, fungsi pengawasan dan pengendalian yang bersifat profesional untuk menjamin adanya keadilan, mohon tanggapan dari pemerintah.
6. Tentang tarif sebagaimana dalam RUU Telekomunikasi ditetapkan oleh dengan Peraturan Pemerintah yang berdasar pada perhitungan berbasis biaya (cost based). Oleh berbagai pihak diusulkan bahwa dalam penentuan tarif pemerintah diharapkan hanya menentukan struktur/susunan tarif bukan besaran tarif, yang selanjutnya besarannya akan ditentukan oleh lembaga independen, termasuk tarif dasar deferensiasi. Oleh karena itu, menurut hemat kami, pemerintah perlu memberikan gambaran terlebih dahulu terhadap hal ini.
7. Munculnya berbagai operandi kejahatan memerlukan antisipasi berbagai pihak dan perlu adanya ketentuan sanksi hukum yang jelas. Berkaitan dengan ketentuan telekomunikasi fraud atau kejahatan di bidang telekomunikasi, perlu kiranya langkah seperti ini dilakukan, mengingat semakin canggihnya kejahatan akan semakin dekat dengan pemanfaatan telekomunikasi dan informasi, oleh karena itu kiranya diperlukan adanya rumusan yang jelas delik kejahatan telekomunikasi, mohon penjelasan pemerintah atas kejahatan telekomunikasi tersebut.

N. Bagaimana Pemerintah Mengkritisasi Usulan Fraksi-fraksi di DPR RI19

Menarik untuk menelusuri bagaimana suasana feed back yang disampaikan Pemerintah terhadap gagasan, ide dan saran dari empat fraksi di Komisi IV DPR RI. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan itu. Pertama, seberapa jauh keempat Fraksi di Komisi IV DPR RI mampu menangkap pikiran yang berkembang di tengah masyarakat. Kedua, seberapa jauh pula pemerintah bersedia untuk mengakomodir pikiran untuk melakukan penyempurnaan terhadap RUU Telekomunikasi itu sendiri.
Menurut Pemerintah, dari sekian banyak permasalahan dan gagasan serta pertanyaan yang diajukan oleh keempat fraksi, yang mendesak disikapi secara serius adalah soal pembinaan telekomunikasi yang dikaitkan dengan keberadaan Badan Regulasi Mandiri
(Independent Regulatory Body) dan Self Regulatory Industry, konvergensi teknologi, penghapusan monopoli dan pengakhiran hak tertentu yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara pada waktunya, serta pengaturan tarif. Menurut Pemerintah keberadaan Badan ini memang tidak dicantumkan secara eksplisit dalam RUU. Namun demikian Pemerintah mengakui bahwa fungsi regulasi yang merupakan salah satu dari fungsi pembinaan, merupakan salah satu faktor penting dalam penyelenggaraan telekomunikasi di suatu negara, lebih-lebih pada saat transisi dari monopoli ke persaingan. Dalam era ini makin dikehendaki supaya ketiga fungsi, yaitu penentu kebijakan, regulasi dan operasi berada pada tataran fungsional yang berbeda dan terpisah. Fungsi regulasi telekomunikasi di Indonesia saat ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan. Pemerintah berpandangan sama dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat yang merasakan perlu adanya suatu regulator telekomunikasi yang kuat, kompeten, profesional dan mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur, mengawasi dan mengendalikan pertelekomunikasian. Langkah-langkah kearah itu akan dilakukan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, memantapkan organisasi dan melengkapi perangkat regulasi yang diperlukan. Namun demikian, Pemerintah masih terkesan hati-hati dan ragu. Pemerintah berpandangan bahwa keberadaan Badan Regulasi Mandiri harus dilihat pula dari sistem hukum ketatanegaraan Indonesia, yang mengamanatkan bahwa fungsi-fungsi regulasi dan kebijaksanaan publik masih sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah. Memperkuat gagasan dan pandangannya ini, Pemerintah mengacu kepada penelitian International Telecommunication Union (ITU) di berbagai

20Lihat Tanggapan Pemerintah yang disampaikan Menteri Perhubungan, Giri S Hadihardjono atas
Pengantar Musyawarah Fraksi-Fraksi terhadap RUU Telekomunikasi, tanggal 20 Juli 1999.



36

negara menunjukkan adanya berbagai bentuk kelembagaan regulator. Pilihan suatu negara mengenai hal ini tergantung sekali pada faktor-faktor seperti sistem hukum ketatanegaraan dan tingkat perkembangan ekonomi dari negara bersangkutan.
Mengenai tuntutan Self Regulatory Industry, Pemerintah berpandangan bahwa dalam era demokrasi, peran serta masyarakat sebagai mitra Pemerintah, baik dalam penyelenggaraan telekomunikasi maupun dalam pembinaan merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu diberikan kesempatan yang seluas-luasnya. Kemitraan antara Pemerintah dan industri merupakan bagian integral dalam mewujudkan persaingan yang sehat dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Kepesatan perkembangan teknologi telekomunikasi mendorong makin beragamnya produk dan jasa telekomunikasi yang dihasilkan atau diselenggarakan oleh masyarakat industri. Sudah selayaknya bahwa masyarakat industri memberi masukan kepada Pemerintah dalam membina pertelekomunikasian. Proses interaksi antara Pemerintah dan masyarakat industri yang berjalan lancar dan tranparans akan menambah kualitas keputusan regulasi.
Dengan argumentasi yang demikian, Pemerintah menyambut baik inisiatif masyarakat industri melalui asosiasi-asosiasinya untuk mengajukan saran dan masukan kepada Pemerintah. Inisiatif ini harus didorong untuk tumbuh dan berkembang tanpa harus dibatasi oleh formalitas peraturan perundang-undangan yang justru akan membuat kaku dan kurang luwesnya interaksi. Terbentuknya lembaga semacam ini seyogyanya tumbuh dari kalangan industri sendiri.
Mengenai perdebatan tentang kehadiran konvergensi teknologi, Pemerintah memberikan catatan sebagai berikut. Dalam RUU ini antisipasi terhadap fenomena konvergensi teknologi telekomunikasi, informatika dan penyiaran memang tidak dinyatakan secara eksplisit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perundang-undangan yang mendasarkan pengaturannya pada teknologi cenderung akan ketinggalan zaman mengingat begitu pesatnya kemajuan teknologi. Hal ini dialami oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun
1989 tentang Telekomunikasi yang menggunakan teknologi untuk membedakan jasa dasar dan jasa non dasar. Di samping itu dalam RUU sudah sangat akomodatif terhadap implikasi regulasi yang ditimbulkan oleh konvergensi. Hal ini dapat dilihat dari definisi mengenai telekomunikasi dan penjelasan Pasal 7 huruf c yang telah mengatur regulasinya baik untuk infrastruktur penyiaran maupun infrastruktur telekomunikasi. Informatika pada hakekatnya dimanapun memang tidak diregulasi, kecuali aspek telekomunikasinya. Untuk mendukung catatannya ini, Pemerintah kemudian mengungkapkan pula tentang keberadaan rezim regulasi telekomunikasi dan penyiaran di kebanyakan negara. Rezim regulasi telekomunikasi dan penyiaran yang terpisah dikebanyakan negara termasuk Indonesia mungkin tidak akan dapat konvergen seratus persen. Hal ini disebabkan oleh hakekat regulasi penyiaran yang lebih menekankan pada muatan atau content yang bernuansa teknologi dan ekonomi. Apabila diamati dalam alam demokrasi, regulasi tentang content cenderung menjadi semakin berkurang atau bahkan ditiadakan.
Mengenai penghapusan monopoli dan pengakhiran hak tertentu yang diberikan Pemerintah kepada Badan Penyelenggara pada waktunya. Pemerintah pada hakekatnya menyambut baik terhadap usulan kebijakan untuk meninggalkan rezim monopoli dan menuju ke lingkungan persaingan yang sehat dalam pertelekomunikasian Indonesia. Kebijakan persaingan yang sehat tersebut juga sejalan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Manfaat persaingan telah terbukti dari perkembangan penyelenggaraan jasa telekomunikasi bergerak seluler di Indonesia. Dari tahun 1986 sampai tahun 1993 penyelenggaraan telekomunikasi bergerak seluler dilaksanakan di bawah rezim regulasi yang monopolistis. Dalam jangka waktu 7 tahun tersebut jumlah pelanggannya hanya mencapai 62.000, sedang harga terminal atau ponsel masih sangat mahal dan cakupan pelayanannya sangat terbatas. Sebaliknya sejak rezim regulasinya diubah menjadi persaingan pada tahun 1994, dalam waktu 5 tahun jumlah pelanggan pada waktu ini telah mencapai 1,5 juta dan harga ponsel semakin murah dan cakupannya menjangkau ke seluruh propinsi. Dalam lingkup yang lebih luas, pengalaman negara lain menunjukkan bahwa manfaat persaingan mampu memberikan pelayanan kepada



37

masyarakat dengan kualitas yang baik dan dengan harga yang lebih murah. Dengan argumentasinya ini, Pemerintah memberikan kesaksian dari pengalamannya selama ini bahwa penghapusan hak monopoli yang dikuasai oleh BUMN akan merugikan negara telah terbantah oleh contoh telekomunikasi bergerak seluler yang disebutkan tadi. Dalam hal monopoli, negara hanya mendapatkan manfaat dari deviden dan pajak dua BUMN disamping kenaikan nilai sahamnya yang tidak terlalu signifikan. Pemerintah kemudian menyatakan bahwa dalam keadaan pasar yang kompetitif mungkin penerimaan deviden akan menurun, akan tetapi manfaat yang didapat negara jauh lebih besar yaitu, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan pajak karena perusahaan berkembang dengan tersedianya sarana telekomunikasi, dan terbukanya peluang masyarakat untuk mendapat pilihan jasa yang lebih baik, dengan harga yang lebih murah. Meskipun demikian, Pemerintah cukup realistis dalam melaksanakan kebijakan penghapusan monopoli. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan cukup kepada para pelaku usaha guna mempersiapkan diri. Hal ini dinyatakan dalam Ketentuan Peralihan yang menjamin bahwa jangka waktu terhadap hak tertentu (eksklusivitas) yang telah diberikan pada Badan Penyelenggara tidak akan dipersingkat tanpa kesepakatan dengan mereka. Sedang untuk mengatur atau meningkatkan intensitas persaingan secara bertahap Pemerintah dapat mempergunakan instrumen pengendalian kompetisi.
Mengenai pengaturan tarif. Pemerintah menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor
3 Tahun 1989 menetapkan bahwa susunan tarif jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan susunan tarif pada undang-undang tersebut adalah struktur dan komponen tarif. Sedangkan penetapan besaran tarif ditetapkan melalui Keputusan Menteri. Pada RUU ini, susunan tarif yang meliputi struktur dan jenis tarif ditetapkan oleh Pemerintah. Perubahan besaran tarif dari waktu ke waktu ditetapkan oleh Penyelenggara Telekomunikasi berdasarkan formula yang ditetapkan Pemerintah. Dalam mensikapi diskursus ini, Pemerintah sungguh menyadari aspirasi yang berkembang di masyarakat telekomunikasi yang menghendaki agar penetapan besaran tarif berdasarkan basis biaya dan diserahkan kepada pasar. Namun Pemerintah menganggap masih perlu menetapkan formula sebagai acuan penetapan besaran tarif. Alasanya ? Formula ditetapkan untuk mencegah penetapan tarif yang akan memberatkan pelanggan atau mematikan pesaing, mengingat penguasaan pasar khususnya dalam penyelenggara jaringan dan jasa telepon masih akan dikuasai secara dominan oleh operator besar yang sudah ada untuk jangka waktu yang relatif lama. Penetapan besaran tarif oleh penyelenggara tidak terlepas dari pengaturan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Dengan demikian diharapkan para penyelenggara dapat menetapkan besaran tarif dengan memperhatikan Undang Undang Nomor 5 Tahun
1999 tersebut guna menjamin kelangsungan usaha jasa telekomunikasi, serta tidak memberatkan pengguna jasa.
Mengenai usulan tambahan asas kemitraan dan azas keamanan guna melengkapi asas-asas yang sudah diatur dalam RUU Telekomunikasi, Pemerintah memberikan catatannya sebagai berikut. Untuk mewujudkan kompetisi yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi dan meningkatkan kemampuan penyelenggaraan telekomunikasi, perlu dilakukan hubungan yang baik antar para penyelenggara telekomunikasi dengan pola kemitraan. Kemitraan dalam usaha telekomunikasi merupakan suatu keharusan yang melekat dalam usaha telekomunikasi. Kemitraan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada penyelenggara telekomunikasi, karena penyelenggara telekomunikasi mempunyai kedudukan dan diperlakukan sama dalam melaksanakan usahanya. Dengan demikian asas kemitraan tersebut secara implisit sudah terdapat dalam RUU Telekomunikasi. Demikian pula mengenai asas keamanan secara substansial sebenarnya telah diakomodasikan dalam asas kepastian hukum yang mengemukakan bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik kepada para investor, penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi maupun kepada konsumen. Perlindungan hukum disini telah mencakup aspek keamanan bagi semua pihak terhadap



38

gangguan-gangguan dan pelanggaran hukum, termasuk keamanan fasilitas yang dijamin tidak diganggu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya saran agar materi muatan tujuan dapat dijabarkan dalam hal-hal yang nyata, perkenankan kami menyampaikan bahwa rumusan tujuan yang dicantumkan dalam RUU tentang Telekomunikasi memang sifatnya luas dan menjangkau jauh ke depan, sesuai dengan fungsi dari telekomunikasi itu sendiri. Tujuan tersebut sama dengan tujuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi.
Mengenai pertanyaaan pengertian kata-kata "pengguna" , "pemakai" dan
"pelanggan" yang belum jelas perbedaannya, pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut. Yang dimaksud dengan "pelanggan" adalah anggota masyarakat pemakai atau pengguna jasa telekomunikasi dan atau para penyelenggara jasa telekomunikasi yang menggunakan atau memakai jaringan telekomunikasi berdasarkan kontrak tetap berjangka waktu tertentu. Istilah "pengguna" dan' "pemakai" pada RUU Telekomunikasi mempunyai pengertian yang sama sehingga kami sependapat dengan Fraksi ABRI untuk menggunakan salah satu istilah. Pengertian pengguna dan pemakai adalah anggota masyarakat yang memanfaatkan jasa telekomunikasi tidak berdasarkan kontrak tetap, seperti pengguna/pemakai telepon umum kartu, warung telekomunikasi, dan lain-lain.
Terhadap pertanyaan mengenai latar belakang perumusan pidana secara kumulatif pada pasal-pasal RUU dapat dijelaskan bahwa peranan dan fungsi telekomunikasi sangat penting dan strategis, sehingga telekomunikasi diselenggarakan untuk mencapai tujuan yang begitu luas, ideal dan nyata. Gangguan, hambatan dan kerusakan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan mempunyai dampak yang besar bagi aspek perekonomian, pembangunan, sosial dan sendi- sendi kehidupan lainnya. Oleh karenanya untuk mencegah tindakan-tindakan yang demikian diberikan ancaman hukuman pidana yang cukup berat secara komulatif atau alternatif. Penerapan sanksi secara kumulatif atau alternatif diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang akan menjatuhkan sanksi tersebut sesuai azas dan rasa keadilannya. Berdasarkan asas hukum pidana, ancaman sanksi pidana secara kumulatif tidak dilarang. Beberapa undang-undang yang telah mengatur sanksi pidana secara kumulatif, antara lain Undang-undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Mengenai rumusan delik kejahatan telekomunikasi, Pemerintah memberikan catatan sebagai berikut. Dalam RUU Telekomunikasi, yang dikategorikan sebagai delik kejahatan telekomunikasi adalah :
1. Penyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jasa telekomunikasi dan atau jaringan telekomunikasi untuk umum.
2. Penyelenggara telekomunikasi tanpa izin sah.
3. Penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang tidak memberikan kebebasan kepada pelanggannya untuk memilih jaringan telekomunikasi lain.
4. Penyelenggara telekomunikasi yang tidak memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting menyangkut keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, marabahaya dan wabah penyakit.
5. Setiap orang yang tanpa hak atau tidak sah atau manipulasi akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
6. Setiap orang yang memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
7. Setiap orang yang menggunakan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tanpa izin.
8. Setiap orang yang menggunakan spektrum frekuensi radio dan atau orbit satelit yang tidak sesuai dengan peruntukannya :




39

9. Setiap orang yang melakukan kegiatan penyadapan atas penggunaan perangkat telekomunikasi dalam bentuk apapun.
10. Penyelenggara telekomunikasi yang tidak menyalurkan informasi yang dikirim atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan dan atau jasa yang diselenggarakannya.
Mengenai diskursus tentang Cetak Biru Kebijakan Pemerintah tentang Telekomunikasi, Pemerintah memberikan catatannya. Cetak biru menguraikan kebijakan Menteri Perhubungan dalam rangka reformasi telekomunikasi Indonesia yang merupakan visi telekomunikasi dan program Pemerintah untuk memasuki abad ke-21 yang juga dinamakan sebagai abad informasi. Kebijakan reformasi tersebut meliputi restrukturisasi industri dan kerangka hukum serta liberalisasi lingkungan usaha pertelekomunikasian Indonesia. Sudah barang tentu, kebijakan tadi masih harus dibakukan dalam beberapa bentuk instrumen hukum yang sesuai. Dalam rangka inilah cetak biru juga dipergunakan untuk menyusun konsep RUU Telekomunikasi. Penyusunan cetak biru tersebut selain dilakukan melalui rapat-rapat interdepartemen, juga mempergunakan masukan dari jajaran pelaku-pelaku usaha utama dan masyarakat telekomunikasi serta memperhatikan perkembangan telekomunikasi global. Meskipun demikian, mengingat dimamika telekomunikasi yang begitu tinggi, cetak biru dari waktu ke waktu perlu diteliti kembali dan apabila diperlukan diadakan penyesuaian. Begitu pula dari hasil pembahasan RUU Telekomuniaksi ini, akan menjadi dasar untuk selalu menyempurnakan cetak biru.
Mengenai pertanyaan tentang keterkaitan antara penyelengara telekomunikasi penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus, Pemerintah memberikan uraiannya sebagai berikut. Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi adalah perusahaan yang mendapat izin membangun dan menyediakan jaringan telekomunikasi untuk disewakan kepada penyelenggara jasa telekomunikasi lainnya. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat diizinkan menyelenggarakan jasa telekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi yang dimilikinya. Penyelenggara jaringan telekomunikasi, pada umumnya perusahaan yang padat modal dan padat teknologi, seperti Penyelenggara Jaringan Telepon Tetap, Penyelenggara Jaringan Telepon Bergerak Seluler, dan Penyelenggara Jaringan Stasiun Komunikasi Satelit Bumi Mikro. Sedangkan Penyelenggara Jasa Telekomunikasi adalah perusahaari yang mendapat izin menyediakan jasa telekomunikasi kepada masyarakat pelanggan dan pengusaha resale, dengan cara menyewa jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi. Penyelenggara jasa telekomunikasi dilarang, menyewakan kembali jaringan telekomunikasi yang disewanya karena pada dasarnya menyewakan jaringan telekomunikasi harus mendapat izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi. Penyelenggara jasa telekomunikasi, pada umumnya perusahaan yang tidak padat modal; seperti radio panggil untuk umum, penyelenggara jasa internet dan jasa nilai tambah lainnya. Sebaliknya, Penyelenggara Telekomunikasi Khusus adalah Badan/Lembaga/Instansi yang mendapat izin menyelenggarakan telekomunikasi untuk keperluan sendiri termasuk penyelengggara infrastruktur penyiaran. Penyelenggara telekomunikasi khusus dilarang, menyambungkan jaringan telekomunikasi khusus ke jaringan publik, menyewakan jaringan yang dimilikinya dan dilarang menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Izin menyelenggarakan Telekomunikasi Khusus diberikan kepada Badan/Lembaga/Instansi yang memerlukan telekomunikasi, yang karena kekhususannya tidak dapat disediakan oleh Penyelenggara Jaringan atau Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.
Pada dasarnya pengaturan penyelenggaraan jasa telekomunikasi khusus sama dengan yang termuat dalam UU Nomor 3 Tahun 1989, seperti misalnya telekomunikasi pertahanan dan keamanan negara, telekomunikasi perbankan dan infrastruktur penyiaran.
Rumusan tentang telekomuniaksi khusus dan larangan menyambungkan ke jaringan tekeomunikasi lain, khususnya tentang penyiaran, dalam perkembangan pembahasannya mendapat reaksi besar dari kalangan media penyiaran. Hal ini disebabkan karena pengaturan





40

yang demikian terkesan diskriminatif dan tidak sesuai dengan pemanfaatan secara maksmal teknologi telekomunikasi bagi perkembangan media penyiaran televisi dan radio.20
Tentang kewajiban Universal Service Obligation (USO), Pemerintah memberikan catatan bahwa sesungguhnya konsep USO ditegaskan dalam RUU Telekomunikasi yang baru. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi tidak mengatur mengenai konsep USO tersebut. Pengaturan USO bertujuan agar pembangunan telekomunikasi menjangkau daerah-daerah yang secara geografis terpencil dan secara ekonomis belum berkembang. Setiap penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi diwajibkan membangun dan menyelenggarakan jasa telekomunikasi di daerah-daerah tersebut yang berada di wilayah perizinannya. Kewajiban membangun jaringan dan menyediakan pelayanan jasa telekomunikasi diberikan kepada operator telepon tetap, sedangkan kepada operator-operator lainnya kewajiban USO diberikan dalam bentuk-bentuk kontribusi dana melalui tarif interkoneksi. Ciri-ciri atau kategori daerah USO, teknologi yang tepat dan bentuk-bentuk kontribusinya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan jumlah akses dan lokasi yang harus dibangun ditetapkan melalui mekanisme pemerintahan (birokrasi).
Mengenai penyelenggaraan telekomunikasi yang memerlukan persyaratan usaha, keahlian dan keterampilan sumber daya manusia dengan standar tertentu, Pemerintah memberikan catatan. Ketentuan mengenai hal ini akan diatur melalui proses perizinan penyelenggaraan telekomunikasi. Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi sangat beragam dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, sehingga untuk menentukan persyaratan usaha harus selalu disesuaikan dengan jenis dan ragam maupun teknologi. Demikian pula halnya dengan keahlian dan keterampilan yang diperlukan sangat bervariasi
(multi disipliner). Oleh karena itu Pemerintah berpendapat pengaturannya lebih tepat dimuat dalam peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini.
Mengenai pembangunan telekomunikasi agar menjamin pengamanan fisik, transmisi dan kerahasian ditegaskan dalam RUU Telekomunikasi, Pemerintah memberikan argumentasinya sebagai berikut. RUU Telekomunikasi tidak secara eksplisit mengatur pencegahan gangguan, perlindungan dan pengamanan telekomunikasi, dengan pertimbangan bahwa pengamanan fisik telekomunikasi adalah sama dengan pengamanan fisik asset atau kepemilikan yang telah diatur dalam Undang-undang lain. Sedangkan untuk pengamanan dan perlindungan gangguan transmisi dan pengamanan informasi juga telah diatur secara baik.
Dari seluruh rangkaian jawaban pemerintah ini, sesungguhnya sudah tidak ada lagi masalah yang perlu diperdebatkan dalam pembahasan selanjutnya. Sebab, seluruh pertanyaan yang diajukan keempat fraksi tuntas dijawab Pemerintah, yang memang menguasai masalahnya.
Justru yang mengejutkan terjadi adalah adanya desakan yang sangat kuat dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia dan PRSSNI yang menemukan satu rumusan pasal bermasalah dan membahaayakan kelangsungan media penyiaran. Akibatnya, MPPI dan PRSSNI melakukan tekanan dan bentuk “demonstrasi intelektual damai” yang dilakukan seratusan demonstran berasal dari broadcaster, Himpunan Praktisi Penyiaran Indonesia DKI Jakarta, MPPI dan PRSSNI untuk menolak pasal dimaksud. Untuk jelasnya, diuraikan lebih lengkap sebagai berikut.
Tekanan terhadap kepentingan media penyiaran dalam RUU Telekomunikasi terutama dilakukan dalam kaitannya dengan upaya diskriminasi penggunaan teknologi telekomunikasi bagi keperluan penyiaran. Hal ini terutama tertera dalam Pasal 7, Pasal 8 ayat
(2), Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 29 RUU Telekomunikasi.
Pasal 7 menegaskan bahwa Penyelenggaraan telekomunikasi21 meliputi (a)
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, (b) penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan (c)



20 Untuk uraian selanjutnya lihata halaman …..



41

penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan, pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus instansi pemerintah tertentu/swasta.22
Pasal 8 ayat (2) menegaskan pula bahwa penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh (a) perseorangan, (b) instansi pemerintah tertentu, (c) instansi pertahanan kemanan negara, dan (d) badan usaha swasta. Selanjutnya Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi khusus menyediakan layanan jasa telekomunikasi dan untuk keperluan sendiri. Ketentuan ini kemudian menjadi bermasalah jika dihubungkan dengan Pasal 29 yang menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi khusus dilakukan dengan memenuhi persyaratan (a) dilaksanakan hanya untuk kepentingan sendiri dan (b) tidak disambungkan ke penyelenggara telekomunikasi khusus lainnya, penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Ketentuan inilah yang kemudian memacu MPPI dan PRSSNI melakukan tekanan untuk mengubah ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 29 RUU Telekomunikasi.23
Ketuan di atas, menurut MPPI dan PRSSNI tidak logis bagi media penyiaran, apalagi dengan menyatakan bahwa media penyiaran adalah media yang dikelompokkan untuk kepentingan sendiri. Sebab media penyiaran adalah media massa yang merupakan media publik untuk menjamin lancarnya lalulalang arus informasi bagi masyarakat sebagai diamanatkan dalam Pasal 14, 19, 20, 21, dan Pasal 42 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan Pasal 29 merupakan kemunduran besar bagi media penyiaran Indonesia. Sebab sebagai penyelenggara telekomunikasi khusus yang tidak dapat menyambungkannya ke jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi serta telekomunikasi khusus lainnya, media penyiaran sama sekali tidak diperkenankan memanfaatkan teknologi telekomunikasi. Padahal media penyiaran dalam melaksanakan fungsinya sudah dengan baik menggunakan teknologi telekomunikasi yang canggih seperti telepon selluler untuk liputan langsung, polling dan interaktif, bahkan juga tidak dapat menggunakan OB Van dengan satelit, siaran langsung, teletext, real audio melalui internet dan lain-lain. Ketentuan yang demikian, mengkebiri media penyiaran. Padahal media penyiaran merupakan salah satu sarana efektif dalam menjamin tersalurkannya informasi kepada masyarakat. Karena itu, baik MPPI maupun PRSSNI menuntut agar Penyiaran, baik televisi dan radio, dikeluarkan dari penyelenggaraan telekomunikasi khusus dan ditempat sebagai pemain tersediri. Sedangkan terhadap Pasal 29, MPPI dan PRSSNI menuntut agar DPR mencabut dan mengeluarkannya dari RUU Telekomunikasi. Disamping itu juga dituntut agar untuk menyelenggarakan media penyiaran di Indonesia dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia yang independen. Dengan dasar pemikiran yang demikian, MPPI dan PRSSNI bersama insan radio lainnya melakukan tekanan terhadap DPR agar mengakomodir tuntutannya.
MPPI dan PRRSNI melakukan public hearing dengan Komisi IV DPR-RI pada tanggal 28 Juni 1999. Dalam public hearing ini disampaikan pokok-pokok pikiran yang sudah disusun. Gerilya lobby selanjutnya diatur sedemikian rupa tanggal 12 dan 20 Juli
1999. Dari lobby ini ternyata hasilnya kurang memuaskan. Pada tanggal 20 Juli 1999, MPPI dan PRSSNI mempersiapkan bentuk terbaik dalam melakukan tekanan terhadap DPR RI. Diputuskan bahwa tanggal 21 Juli 1999, MPPI, PRSSNI dan HPPI DKI Jakarta akan melakukan aksi demonstrasi damai untuk menekan DPR RI. Demonstrnasi ini dilakukan sekitar seratusan peserta, yang dilangsungkan beberapa hari mulai tanggal 21 Juli sampai



21 Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan telekomunikasi untuk keperluan sendiri, keperluan dinas khusus atau pertahanan keamanan negara. Pasal 1 angka 9, 10, dan 11 RUU Telekomunikasi.
22 Penjelasan Pasal 7 huruf c RUU Telekomunikasi.
23 Tekanan ini kemudian dituangkan dalam Keterangan Pers tanggal 23 Juli 1999, yang ditandatangani oleh H Soetojo
Soekomihardjo, Ketua Umum PP PRSSNI dan Hinca IP Pandjaitan, SH., MH relawan MPPI.



42

dengan tanggal 27 Juli 1999. Unjuk rasa damai ini juga diliput langsung oleh beberapa media radio siaran dan media televisi siaran dan beberapa media cetak.24
Lobby juga dilakukan kepada beberapa anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi ABRI, Fraksi PDI dan Fraksi Karya Pembangunan. Dalam waktu yang relatif singkat ternyata tekanan dan lobby ini berhasil, sebab Komisi IV DPR RI akahirnya mengubah beberapa ketentuan sebagaimana dituntut oleh MPPI dan PRSSNI serta HPPI. Dalam pembahasan RUU Telekomunikasi yang relatif singkat akhirnya DPR RI setuju agar RUU Telekomunikasi disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 30 Juli
1999. Kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 36 tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154 dan Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 3881. Hasilnya, beberapa tuntutan MPPI dan PRSSNI berhasil diakomodir, antara lain dalam Pasal 9 ayat (3) yang menegaskan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk keperluan sendiri, keperluan pertahanan dan keamanan dan keperluan penyiaran. Dalam Pasal 29 ayat (2) juga ditegaskan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran. Sedangkan untuk tuntutan Independent Regulatory Body hanya diakomodir dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.









































24 Misalnya di Harian Kompas tanggal 27 Juli 1999 dan The Jakarta Post tanggal 29 Juli 1999.



43

BAB DUA
CETAK BIRU TELEKOMUNIKASI INDONESIA



1. Catatan Awal
Berbarengan dengan pembahasan RUU Telekomunikasi, tanggal 17 September
1999, Menteri Perhubungan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KM 72 Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan Pemerintah tentang Telekomunikasi Indonesia.25 Alasan kuat mengapa Cetak Biru ini diluncurkan terutama sebagai jaminan konsistensi arah pengembangan penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Cetak biru ini wajib digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan pengaturan dan penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Namun demikian, Cetak Biru ini dapat disesuaikan sejalan dengan perubahan yang ada. Karena itu dapat dikatakan bahwa untuk memahami Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi secara lebih lengkap harus dilakukan pemahaman yang pararel dengan mempelajari Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia.
Menurut Pemerintah, saat ini reformasi telekomunikasi dilaksanakan praktis oleh semua negara di dunia. Hal ini terutama disebabkan oleh perubahan drastis lingkungan ekonomi global dan kepesatan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi. Karena perbedaaan yang spesifik dalam keadaan ekonomi, politik, dan sosial masing-masing negara, manifestasi reformasi tersebut berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Lagi pula, perbedaan dalam sasaran yang ingin dituju oleh strategi reformasi, membuat corak reformasi telekomunikasi juga beraneka ragam. Oleh karena itu, bagi Pemerintah Dokumen Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia ini menguraikan kebijakan Menteri Perhubungan Republik Indonesia dalam rangka reformasi telekomunikasi Indonesia yang sekaligus sebagai program pemerintah. Reformasi tersebut meliputi restrukturisasi kerangka hukum dan industri serta liberalisasi lingkungan usaha di bidang telekomunikasi.

2. Latar belakang
Menurut Pemerintah, setidaknya terdapat enam alasan yang melatarbelakangi perlunya Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia.
Pertama, telekomunikasi, pada umumnya, mempunyai dimensi global meskipun bobot tanggung jawabnya berada di ruang lingkup nasional. Hal ini disebabkan oleh sifat telekomunikasi itu sendiri yang inheren dengan jangkauan jarak jauh sehingga mempunyai implikasi global, sedang wujud dan bentuk akhirnya sebagian besar ditentukan oleh lingkungan dan kebijakan nasional makro.
Kedua, perubahan lingkungan ekonomi global dan laju kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika yang berlangsung sangat dinamis, telah mendorong lahirnya lingkungan telekomuikasi yang jauh berbeda dengan keadaan yang berlaku begitu lama sebelumnya. Perubahan yang amat mendasar ini menimbulkan realita baru pada penyelenggaraan telekomunikasi di seluruh dunia.
Ketiga, dalam garis besar, wujud perubahan dan realita baru ini berupa :
• beralihnya fungsi telekomunikasi dari utilitas menjadi komoditi perdagangan;
• bergesernya fungsi pemerintah dari memiliki, membangun dan menyelenggarakan telekomunikasi ke menentukan kebijakan, mengatur, mangawasi dan mengendalikannya;
• peningkatan peran pasar swasta sebagai investor prasarana dan penyelenggaraan telekomunikasi;
• trasformasi struktur pasar telekomunikasi dari monopoli ke persaingan, dan

25 Lihat lebih lanjut Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia.



44

• diakuinya secara umum bahwa di era informasi, telekomunikasi berperan sebagai salah satu faktor terpenting dan strategis dalam menunjang dan meningkatkan daya saing ekonomi suatu bangsa.
Keempat, dalam lingkungan nasional, telekomunikasi telah terbukti sebagai sarana vital Indonesia untuk mempelancar kegiatan pemerintahan, meningkatkan hubungan antar bangsa, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam rangka Wawasan Nusantara. Ada tiga hal yang menjadi determinan penting dalam perumusan kebijakan reformasi telekomunikasi, yaitu:
• haluan negara yang baru ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang
Istimewa November 1998;
• kehendak untuk mengadakan perbaikan dan pembaruan di segala bidang termasuk di bidang telekomunikasi.
Kelima, kebijakan pemerintahan untuk melaksanakan reformasi telekomunikasi antara lain mempunyai tujuan sebagai berikut:
• meningkatkan kinerja telekomunikasi dalam rangka mempersiapkan ekonomi indonesia menghadapi globalisasi yang secara konkrit diwujudkan dalam kesempatan WTO, APEC dan AFTA untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas;
• melaksanakan liberalisasi telekomunikasi Indonesia sesuai dengan kecenderungan global yang meninggalkan struktur monopoli dan beralih ke tatanan yang berdasar persaingan ;
• meningkatkan transparansi dan kejelasan proses pengaturan (regulasi) sehingga investor mempunyai kepastian dalam membuat rencana penanaman modalnya;
• memfasilitasi terciptanya kesempatan kerja baru di seluruh wilayah Indonesia;
• membuka peluang penyelenggara telekomunikasi nasional untuk menggalang kerja sama dalam skala global, dan
• membuka lebih banyak kesempatan berusaha, termasuk bagi usaha kecil, menengah dan koperasi.
Keenam, untuk meletakkan dalam perspektif, kesempatan berikut menggambarkan alur pikir perumusan kebijakan reformasi telekomunikasi.

3. Profil Telekomunikasi Indonesia Dewasa Ini
Dalam Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia ini, Pemerintah hanya membatasi masalah profil telekomunikasi ini mulai permulaan tahun 1998. Menurut Pemerintah, instrumen hukum yang mendasari pertelekomunikasian Indonesia waktu ini adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi, sedang regulasinya berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, serta perangkat perundangan lainnya.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi menyatakan antara lain bahwa:
• Penyelengaraan telekomunikasi dilaksanakan oleh pemerintah, yang selanjutnya untuk penyelenggaraan jasa telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada badan penyelenggara.
• Badan penyelenggara adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk untuk itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• Jasa telekomunikasi dikategorikan sebagai jasa telekomunikasi dasar dan bukan dasar. Jasa telekomunikasi dasar meliputi telepon, telex, dan telegram. Jasa telekomunikasi bukan dasar adalah jasa telekomunikasi diluar jasa telekomunikasi dasar.
• Badan hukum diluar badan penyelenggara, yang juga disebut badan lain, dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi dasar atas kerja sama dengan badan penyelenggara. Untuk meneyelenggarakan jasa telekomunikasi bukan dasar badan lain dapat melaksanakannya tanpa kerjasama dengan badan penyelenggara.
Dalam tataran badan penyelenggara, sampai saat ini yang ditentukan sebagai badan penyelenggara hanya ada dua BUMN , yaitu:
• PT TELKOM, sebagai satu-satunya badan penyelenggara jasa telekomunikasi dasar untuk jasa telekomunikasi dalam negeri. Jasa telekomunikasi dalam negeri terdiri dari jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal dan jasa telekomunikasi tetap sambungan



45

langsung jarak jauh nasional. Jasa-jasa tersebut diselenggarakan melalui jaringan telekomunikasi tetap (fixed) atau juga disebut jaringan berdasarkan kawat (wireline). Dengan demikian, PT TELKOM merupakan satu-satunya penyelenggara jaringan umum telekomunikasi tetap dalam negeri.
• PT INDOSAT, sebagai badan penyelenggara jasa telekomunikasi dasar khususnya jasa telekomunkasi tetap sambungan internasional hingga tahun 1994. Sejak tahun itu, pemerintah memberi ijin pada perusahaan swasta yang berpatungan dengan PT TELKOM dan PT INDOSAT untuk juga menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi tetap sambungan internasional yang kedua.
Dari serangkaian aturan main yang berkenaan dengan telekomunikasi di Indonesia, maka beberapa ketentuan yang ada memperlihatkan bahwa, dibawah kerangka hukum yang masih berlaku, warna monopoli penyelenggaraan telekomunikasi Indonesia masih terlihat nyata. Ini merupakan konsekuensi logis adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi yang telah berumur sepuluh tahun. Mengingat dinamika telekomunikasi yang begitu tinggi, suatu undang-undang memang tidak akan mudah memberi akomodasi untuk implikasi semua perubahan perubahan yang terjadi selama kurun waktu sepuluh tahun. Meskipun demikian, dengan memperjelas dan memperlonggar interpretasi ketentuan- ketentuan yang ada, perangkat regulasi sedikit banyak telah dapat mengakomodasikan, ---- secara terbatas----, beberapa kebijakan deregulasi, terutama yang mengenai partisipasi pihak swasta dalam penyelenggara jasa telekomunikasi dasar.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor 3 tahun 1993 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Dasar menetapkan bahwa kewajiban kerja sama antara badan penyelenggara dan badan lain dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar dapat berbentuk, usaha patungan (JVC), kerjasama operasi (KSO) dan kontrak manajemen (KM).
Dalam usaha patungan, pada dasarnya, kepemilikan badan penyelenggara dalam JVC tidak harus merupakan mayoritas. Seperti dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1994 tentang pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA, penanaman modal bidang usaha telekomunikasi dilakukan oleh PMA patungan asalakan kepemilikan peserta Indonesia minimal 5% dari seluruh modal di setor. Perlu dicatat bahwa usaha patungan antara Badan Penyelenggara dan Badan Lain berstatus sebagai Badan Lain, bukan badan penyelenggara.
KSO secara lebih spesifik diatur dengan ijin yang diberikan dalam persetujuan kerjasama operasi yang bersangkutan, seperti ijin yang diberikan kepada masing-masing konsorsium investor KSO Repelita VI.
Lingkup kerja sama dan tata cara perizinan dalam Kontrak Manajamen di bidang telekomunikasi diatur oleh keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor 39
Tahun 1993. Penggunaan bentuk kerja sama ini dalam praktek di bidang telekomunikasi praktis belum ada.

4. Struktur Industri Telekomunikasi
Pemerintah menggambarkan struktur industri telekomunikasi Indonesia dewasa ini dapat digambarkan sebagaimana tervisualisasi dalam tabel berikut.


Jasa Penyelenggaraan

Jasa telekomunikasi

Kabel Eksklusif sejak 1996 hingga akhir 2010

tetap sambungan lokal Radio Persaingan terbatas




tetap


domestik



Jasa telekomunikasi tetap sambungan Jarak jauh nasional
(SLJJ)

Eksklusif sejak 1996 hingga akhir 2005




Jasa telekomunikasi tetap
Sambungan internasional
(SLI)

Dua penyelenggara sejak 1995 hingga akhir 2004






46

Ber- gerak

Sistem telekomunikasi
Bergerak seluler

Persaingan
(Tergantung pada tersedianya frekuesi)

Jasa telekomunikasi non-dasar Persaingan
Peralatan terminal pelanggan (CPE) Persaingan
Peralatan non CPE Dalam proses menuju persaingan

Jaringan telepon tetap sambungan lokal dengan kawat diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara PT TELKOM secara eksklusif selama 15 tahun yang akan berakhir pada akhir tahun 2010. Jaringan telekomunikasi tetap sambungan lokal dengan radio secara terbatas (regional) juga telah diselenggarakan oleh Badan Lain, yaitu PT RATELINDO. Jasa telepon tetap sambungan langsung jarak jauh nasional diselenggarakan secara eksklusif oleh PT TELKOM hingga akhir 2005. Sementara jasa telepon tetap sambungan internasional diselenggarakan hingga akhir tahun 2004 secara duopoli oleh PT INDOSAT dan PT SATELINDO. Sedangkan penyelenggaraan jasa telekomunikasi bergerak seluler, pada waktu ini telah dilaksanakan secara kompetitif dan jumlah penyelenggaranya dibatasi oleh ketersediaan spektrum. Begitu pula segmen pasar penyediaan peralatan terminal pelanggan atau CPE merupakan lingkungan yang kompetitif. Penyediaan peralatan non CPE sedang dalam proses liberalisasi total.

5. Tarif jasa telekomunikasi
Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi susunan tarif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada waktu ini, pemerintah menentukan maksimum beberapa komponen tarip, seperti : pasang baru, sewa bulanan, dan biaya aktivasi. Untuk biaya pemakaian (usage charge) jasa telekomunikasi tetap ditentukan tarip aktualnya, yang saat ini sedang dalam proses untuk diubah menjadi tarif maksimum.

6. Permulaan pembukaan pasar telekomunikasi
Pemerintah berpandangan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi serta Keputusan Menparpostel Nomor 39 Tahun 1993 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Dasar, memungkinkan kerjasama antara badan penyelenggara dan badan lain dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar. Untuk memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur telekomunikasi dalam Repelita VI, khususnya jaringan telekomunikasi tetap sambungan lokal karena keterbatasan dana yang dimiliki Pemerintah maupun Badan Penyelenggara pembangunan dilakukan melalui pengikutsertaan modal asing. Dalam hubungan ini telah diterapkan kebijakan KSO
(Kerjasama Operasi) antara PT TELKOM dengan konsorsium swasta nasional dan asing. Disamping itu, PT TELKOM serta PT INDOSAT telah melakukan Initial Publick Offering
(IPO), masing-masing pada tahun 1994 dan 1995. Dengan penjualan saham BUMN di bursa tersebut, pada waktu ini 35 % saham PT INDOSAT dan sekitar 25 % saham PT TELKOM ada ditangan masyarakat. Hal-hal ini menurut catatan Pemerintah pada hakekatnya telah merupakan permulaan privatisasi telekomunikasi Indonesi.

7. Pasar jasa telekomunikasi
Pemerintah mencatat bahwa besarnya pasar untuk suatu barang atau jasa diukur dari besarnya permintaan untuk barang atau jasa tersebut. Sebaliknya potensi besarnya permintaan yang belum terpenuhi dapat ditaksir dari perbandingan derajat pemenuhannya di beberapa pasar serupa. Tabel di bawah membandingkan penetrasi jaringan telepon tetap dan jaringan telepon bergerak seluler Indonesia dengan negara-negara sekitarnya. Penetrasi adalah rasio dan sambungan telepon tetap (atau bergerak) untuk tiap 100 orang penduduk yang dinyatakan dalam %.





Negara




Penetrasi Jaringan Telepon Tetap*) Penetrasi Jaringan Telepon
Bergerak**)




47

Australia Singapura Taiwan Korea Malaysia Thailand Phlipina Indonesia

51,94
47,85
46,50
43,26
18,32
5,86
2,58
2,10

28,3
28,3
3,0
17,8
10,9
0,3
1,6
0,6

Sumber : ITU Asia Pasific Telecommunication Indicators / Mobilecomm Internasiona *)

Rendahnya penetrasi jaringan telepon baik yang tetap maupun yang bergerak di Indonesia bila dibanding dengan negara sekitarnya, merupakan salah satu indikasi bahwa daya tarik investasi dalam infrastruktur telekomunikasi Indonesia untuk jangka panjang, cukup potensial. Lagi pula, pada umumnya investor dalam infrastruktur telekomunikasi tidak mendasarkan perhitungan bisnisnya untuk jangka waktu pendek. Yang sangat mereka butuhkan adalah kepastian berusaha. Hal ini terbukti, pada tender izin penyelenggaraan jasa telepon bergerak seluler PCS/PCN (DCS-1800 dan PHS) baru-baru ini. Meskipun di tengah krisis ekonomi, tidak sedikit peminat yang harus dikecewakan karena jumlah calon investor lebih besar dari izin yang disediakan. Pemerintah berpendapat bahwa ada perbedaan dalam struktur pasar antara jasa telepon tetap dan jasa telepon bergerak seluler. Struktur pasar untuk jasa telepon tetap masih berdasarkan monopoli atau duopoli, tetapi untuk jasa telepon bergerak seluler struktur pasarnya sudah sejak beberapa tahun berdasarkan persaingan penuh.

8. Pelanggan jasa telekomunikasi
Meskipun dalam masa krisis, menurut Pemerintah pertumbuhan jumlah pelanggan telepon tetap Indonesia sampai akhir semester pertama 1998 masih mencapai 15,51 %, seperti diperlihatkan Tabel berikut. Apalagi kalau diingat, bahwa kenaikan jumlah pelanggan tersebut adalah netto, oleh karena pada saat yang sama sebanyak 201.201 pelanggan menghentikan sambungan teleponnya akibat krisis dalam kurun waktu itu. Dampak krisis akan lebih terasa pada tahun 1999, karena pada tahun itu praktis tidak akan ada ekspansi jaringan telepon tetap. Perlu diingat bahwa karena sebagian besar komponen jaringan telekomunikasi itu perlu diimpor dan pendapatan dari penyelenggaraan diperoleh dalam Rupiah, maka tidak salah kalau dikatakan bahwa laju ekspansi jaringan tahun depan akan berbanding terbalik (inversely proportional) dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Dampak krisis pada jumlah pelanggan jaringan telepon bergerak pada akhir semeste kedua 1998 menyebabkan pertumbuhannya menjadi negatif (-7,93%), seperti dapat dilihat dari Tabel di bawah. Penyebab gejala ini adalah adanya sebagian pelanggan yang menghentikan langganannya, tetapi penyebab terbesar adalah berpindahnya pelanggan dari langganan biasa ke langganan pra bayar, sedang yang dicatat di Tabel itu hanya pelanggan biasa.

Indikator Pelanggan Satuan Triwulan II 97 Triwulan II 97 Laju
(%)

TELEPON TETAP (FIXED
Pelanggan
Telepon Umum
Segmentasi pelanggan
Bisnis Perumahan Sosial
Produktivitas
Lokal
SLJJ


Langganan
SSt

%
%
%

%
%


4.361.355
151.229

21.43
78.12
0.45

37.85
6.2.15


5.037.640
194.737

19.80
79.78
0.42

35.47
64.53


15.51
28.77

-7.62
2.13
-6.14

-6.30
3..84

TELEPON BERGERAK SELULAR



48

Pelanggan Langganan 858.221 790.158 -7,93

Sumber : INFO MEMO PT TELKOM August 1998

9. Infrastruktur telekomunikasi
Pembangunan infrastruktur telepon tetap (fixed) dilakukan oleh PT TELKOM dan Mitra KSO-nya, sebagai badan penyelenggara. Pemerintah menentukan jumlah sambungan yang akan dibangun dalam periode lima tahun, karena pada umumnya pemerintah masih terlibat dalam segi pendanaan. Penentuan ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, seperti pada PELITA VI.
Besarnya pembangunan untuk ekspansi jaringan telepon bergerak seluler ditetukan sendiri oleh badan-badan lain yang menjadi penyelenggaranya. Pemerintah tidak terlibat dalam pendanaan pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi bergerak seluler, meskipun pemerintah memperhatikan dan mengawasi bagaimana masing-masing penyelenggara memenuhi kewajibannya untuk memperluas liputan jaringan di wilayah operasinya.Penyebaran liputan jaringan/jasa sambungan telepon tetap dan sistem telekomunikasi bergerak seluler di seluruh wilayah Indonesia diperlihatkan Tabel berikut. Penyebaran pelanggan (akhir 1998).



Wilayah
I. Sumatera
II. Jakarta
III. Jawa Barat
IV. Jawa Tengah + DIY V. Jawa Timur
VI. Kalimantan
VII. Kawasan Timur Indonesia
TOTAL



Penetrasi Jaringan Telepon
Tetap*)
770.857
2.079.452
567.369
475.410
935.372
254.315
488.880
5.571.644



Penetrasi Jaringan Telepon
Bergerak**)
74.894
575.477
69.168
69.526
119.007
24.612
52.718
985.402

*) 1998 Annual Report on Form 20 PT TELKOM **) di luar pengguna pra-bayar, posisi akhir 1997

Pada waktu ini, menurut Pemerintah jumlah pelanggan jaringan telepon bergerak seluler dan jaringan telepon tetap kurang lebih satu berbanding lima (1:5). Akan tetapi perbandingan pertumbuhannya terbalik. Hal yang terakhir ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan gejala universal. Sebagai penyebabnya dapat disebutkan
: (i) mobilitas dalam penggunaan sarana telekomunikasi merupakan permintaan yang nyata., (ii) unit pengguna telekomunikasi bergeser dari rumah tangga seperti pada jaringan telepon tetap ke pribadi (personal).


10. Profil Telekomunikasi Indonesia Masa Depan
10.1. Umum
Profil telekomunikasi masa depan yang ingin dicapai idealnya harus ditafsirkan sebagai satu tahapan dalam dimensi waktu, bila telah terjadi :
a. kompetisi yang sehat, efisien dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi;
b. adanya regulator yang efektif menegakkan (enforce) peraturan dalam regulator dan persyaratan dalam lisensi;
c. pemerataan manfaat kompetisi kepada pelanggan dalam kemungkinan mengakses jasa telekomunikasi, tanpa ada perbedaan dalam lokasi akses, pembayaran dan status sebagai pelanggan residensial atau bisnis; dan
d. adanya konsumen jasa telekomunikasi yang kepentingannya dilindungi dalam hal kualitas pelayanan yang diterima, harga yang harus dibayar, dan variasi pilihan yang didapat.




49

Situasi ini di atas, selainnya ideal, juga hanya bisa atau sudah dicapai oleh negara yang amat sedikit jumlahnya. Meskipun demikian, situasi seperti itu menjadi idaman semua negara. Masa depan dalam hal ini diartikan secara pragmatis sebagai kurun waktu bila sudah tidak ada lagi hak eksklusif dan duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Situasi demikian itu akan terjadi sesudah tahun 2011 seperti terlihat di bagan struktur industri telekomunikasi Indonesia berikut.


10.2. Pengaturan perundang-undangan
a. Undang-undang
Sepuluh tahun yang lalu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi diundangkan untuk mendasari telekomunikasi Indonesia yang seperti di kebanyakan negara di dunia bersifat monopolistis meskipun mulai membuka kemungkinan partisipasi swasta, walau masih terbatas. Sementara itu lingkungan di dalam dan di luar negeri telah banyak sekali berubah sebagai akibat dari globalisasi. Sejalan dengan itu telah terjadi perubahan yang mengarah kepada perdagangan bebas di bidang telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-undang yang baru harus mempunyai karakteristik yang anti monopoli dan pro konsumen.

b. Penyelenggaraan telekomunikasi
Dimasa depan pemerintah baik langsung maupun tidak langsung tidak lagi menyelenggarakan telekomunikasi. Penyelenggaraan telekomunikasi dilakukan oleh usaha swasta (temasuk BUMN yang telah diswastakan) dan koperasi dengan catatan kepemilikan swasta dan koperasi nasional lebih besar dari kepemilikan swasta asing.

c. Kategori (penyelenggaraan) jasa telekomunikasi
Undang-undang yang baru menghapuskan pembedaan antara jasa telekomunikasi dasar dan non dasar yang sekarang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Pembedaan dilakukan antara penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang pemberian izin penyelenggaraannya didasarkan hanya pada kelayakan usaha calon penyelenggara untuk menyelenggarakan jenis telekomunikasi bersangkutan.

d. Restriksi usaha swasta sebagai penyelenggara
Pada waktu ini usaha swasta sebagai badan lain (BL) harus bekerjasama dengan badan penyelenggara (BP) agar diizinkan menyelenggarakan jasa telekomunikasi dasar. Di masa depan keharusan kerjasama antar penyelenggara untuk dapat menyelenggarakan tidak ada lagi. Izin untuk menyelenggarakan suatu jasa telekomunikasi semata-mata didasarkan atas kelayakan usaha penyelenggara dan tidak atas dasar kepemilikan saham penyelenggara tersebut oleh pemerintah.

e. Bentuk kerjasama
Pada waktu ini kerjasama yang dimaksudkan catatan matriks butir 4 di atas dibatasi bentuknya, yaitu patungan, kerja sama operasi (KSO) atau kontrak manajemen. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi masa depan, baik keperluan mengadakan kerjasama maupun bentuk kerjasamanya ditentukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan semata-mata atas dasar pertimbangan usaha.

f. Penyertaan investor (modal) asing
Dalam Schedule of Commitment traktat multilateral WTO, Indonesia menyatakan bahwa kepemilikan asing atas saham penyelenggara jasa telekomunikasi dasar dapat sampai 35 %. Batas ini sewaktu-waktu dapat dinaikkan tapi tidak boleh diturunkan. Selanjutnya pada putaran perundingan dagang multilateral yang diadakan secara periodik batas ini secara bertahap dapat dinaikkan, namun tidak melebihi kepemilikan nasional.





50

10.3. Struktur Industri telekomunikasi
g. Penyelenggara jasa telekomunikasi tetap
Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 yang sekarang berlaku, jasa telekomunikasi tetap adalah jasa telekomunikasi dasar. Maka penyelenggaranya harus badan usaha milik negara yang merupakan badan penyelenggara (BP) atau usaha swasta (BL) yang bekerjasama dengan badan penyelenggara tersebut. Pelaksanaan liberalisasi penuh menghasilkan lingkungan regulasi telekomunikasi masa depan yang tidak mendasarkan pemberian kewenangan sebagai penyelenggara berdasarkan adanya saham penyelenggara yang dimiliki negara melainkan tergantung pada jenis jaringan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakan penyelenggara.

h. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi tetap
Dengan adanya hak eksklusivitas dan duopoli dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi tetap sambungaan lokal, jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung jarak jauh nasional dan jasa telekomunikasi tetap sambungan internasional, maka penyelenggaraan jasa telekomunikasi tetap waktu itu sifatnya monopolistis. Sedang karakteristik telekomunikasi Indonesia di masa depan adalah multi-operator, berdasarkan persaingan dan pro-konsumen.
Struktur industri jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal dapat berdasarkan kabel atau radio, yang masing-masing penyelenggaraannya dilaksanakan secara eksklusif dan persaingan terbatas. Sedangkan keadaan liberalisasi total dilaksanakan, yaitu pada kolom penyelenggara yang diberi indikasi “sejak 2001”. Hal ini ditandai bahwa pada baris jaringan dan jasa telekomunikasi tetap, selain PT. Telkom dan PT. Indosat sebagai penyelenggara tertulis juga “Operator Lain”. Operator lain adalah usaha swasta dan koperasi yang mempunyai kelayakan usaha dan mendapat izin penyelenggara.
Diindikasikan bahwa pada waktu ini penyediaan peralatan terminal pelanggan (CPE) dilaksanakan secara bersaing, sedang penyediaan non CPE persaingannya masih terbatas. Di masa depan penyediaan peralatan non CPE dilaksanakan juga secara bersaing.

i. Penyelenggara dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi bergerak
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 1989, dewasa ini penyelenggara jasa telekomunikasi bergerak adalah BL yang bekerjasama (secara patungan) dengan BP. Seperti diutarakana di atas, dalam penyelenggaraan telekomunikasi masa depan keharusan kerjasama antar penyelenggara untuk dapat menyelenggarakan telekomunikasi tidak ada lagi. Biarpun ada keharusan kerjasama antara BL dan BP, penyelenggaraan jasa telekomunikasi bergerak pada waktu ini dilaksanakan atas dasar persaingan. Meskipun demikian, jumlah penyelenggara dibatasi oleh ketersediaan frekuensi Di masa depan, penyelenggaraan jasa telekomunikasi bergerak juga dilaksanakan secara kompetitif dengan catatan bahwa perbedaan antara BL dan BP serta keharusan kerjasama antar penyelenggara sudah tidak ada lagi. Akan tetapi pembatasan jumlah penyelenggara oleh ketersediaan spektrum tetap ada.

j. Penyelenggara dan penyelenggaraan telekomunikasi non dasar
Pada waktu ini, BL tanpa harus kerjasama dengan BP dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi non dasar, yang meliputi antara lain jasa akses internet, premium call, telepon umum dan wartel. Karena modal yang sudah diperlukan relatif tidak besar, usaha kecil dan menengah kebanyakan aktif dalam penyelenggaraan jasa ini yang diselenggarakan secara kompetitif. Di masa depan, meskipun tidak lagi dinamakan jasa telekomunikasi non dasar, jenis jasa-jasa tersebut akan meningkat sekali, sehingga peluang bagi usaha kecil dan menengah untuk berusaha akan jauh lebih besar.

10.4. Tarip
k. Tarip jasa telekomunikasi
Pada waktu ini, tarip jasa telekomunikasi diatur oleh pemerintah. Di masa depan untuk jasa telekomunikasi yang penguasaan pasar (market power) penyelenggaranya dominan



51

sekali tarip ditentukan oleh regulator dengan berorientasi pada biaya (cost-oriented), sedang untuk jasa telekomunikasi yang para penyelenggaranya kurang lebih mempunyai penguasaan pasar yang setara (seperti penyelenggaraan jasa telepon bergerak seluler atau jasa akses Internet pada waktu ini) tarip ditentukan oleh mekanisme pasar.

10.5. Pasar jasa telekomunikasi
l. Permintaan
Besarnya pasar untuk suatu barang atau jasa diukur dari besarnya permintaan untuk barang atau jasa tersebut. Sebaliknya potensi besarnya permintaan yang belum terpenuhi dapat ditaksir dari perbandingan derajat pemenuhannya di beberapa pasar serupa. Mengingat bahwa teledensitas Indonesia yang terendah di antara negara yang setara, maka dapat disimpulkan bahwa masih cukup banyak permintaan akan jasa telekomunikasi yang belum dipenuhi. Karena kemajuan teknologi dan liberalisasi pasar, di masa depan jenis jasa telekomunikasi akan meningkat yang akan disertai permintaan yang meningkat pula.

m. Penyediaan
Di waktu yang lampau, meskipun kecenderungannya sekarang telah menurun, pendanaan untuk memenuhi permintaan jasa telekomunikasi menjadi beban pemerintah. Pada hal menurut Bank Dunia setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan jaringan telekomunikasi guna mendukung ekonominya, negara berkembang membutuhkan
64 milyar USD. Hal ini sudah tentu tidak mungkin dipikul pemerintah negara tersebut, karena masih banyaknya kebutuhan lain yang perlu dibiayai. Di masa datang, pembangunan jaringan telekomunikasi dilaksanakan atas dasar permintaan pasar dan sepenuhnya dilakukan berdasarkan investasi oleh swasta. Sebagai akibatnya, distorsi dalam mekanisme pasar akan berkurang, sehingga kemungkinan terjadinya kesetimbangan antara permintaan dan penyediaan akan meningkat.

10.6. Infrakstruktur
n. Infrastruktur Telekomunikasi
Infrastruktur utama dalam telekomunikasi Indonesia pada waktu ini adalah jaringan telepon tetap untuk komunikasi suara dan jaringan telepon bergerak generasi ke-2. Karena kemajuan dan konvergensi teknologi, di masa depan jaringan telekomunikasi tetap serta jaringan telekomunikasi bergerak terestrial dan satelit untuk komunikasi multimedia akan merupakan infrastruktur utama.

10.7. Evolusi Telekomunikasi
Perkembangan telekomunikasi berjalan terus. Begitupun regulasi telekomunikasi akan terus berubah mengikuti kemajuan teknologi dan dinamika ekonomi. Kompetisi di segala penyelenggaraan telekomunikasi, dianggap perlu ttapi belum mencukupi liberalisasi yang penuh. Kualitas kompetisinya masih merupakan isu lanjutan dalam liberalisasi telekomunikasi. Salah satu contoh adalah tuntutan akan adanya portabilitas nomor (number portability), yaitu kemungkinan membawa nomor yang lama bila pelanggan pindah berlangganan dari satu penyelenggara ke penyelenggara lain. Dengan tidak adanya portabilitas nomor, perpindahan semacam ini akan mengalami hambatan.
Kecenderungan konvergensi antara telekomunikasi dengan teknologi informasi (telematik) juga akan makin mendesak regulasi untuk memperhatikan isu yang berhubungan dengan content (muatan). Contoh akut dalam hal ini adalah tanda tangan digital, TRIP (trade related intellectual property), Internet webcasting yang erat hubungannya dengan e-commerce dan sebagainya.

11. Faktor Internal
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal itu dapat dicatat sebagai berikut.

11.1. Perubahan besar dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi.




52

Tahun 1998 merupakan tahun yang amat bersejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia. Waktu krisis ekonomi keuangan yang melanda Indonesia masiih berlanjut, terjadilah dalam tahun itu, peristiwa-peristiwa historis seperti berikut :
• pergantian pemerintah yang sudah berkuasa selama 32 tahun;
• ditetapkannya haluan negara baru yang memberikan arah pada reformasi pembangunan;
• bertiupnya angin demokrasi dalam kehidupan politik;
• diarahkannya kebijakan ekonomi yang menekankan perwujudan struktur ekonomi nasional berdasarkan demokrasi nasional kerakyatan;
• dijaminnya hak asasi manusia termasuk hak atas kebebasan informasi oleh ketetapan lembaga tertinggi negara.
Dampak peristiwa-peristiwa penting di atas kepada praktek kehidupan nasional yang nyata masih harus ditunggu. Namun begitu, tidak dapat disangkal bahwa peristiwa-peristiwa tadi akan membawa perubahan fundamental dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia.

11.2. Ketetapan Sidang Istimewa MPR November 1998
Kebijakan reformasi telekomunikasi Indonesia harus mengacu pada ketetapan Sidang Istimewa MPR bulan November 19998 mengenai pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelematan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara yang diuraikan dalam butir-butir berikut.
Salah satu tujuan Reformasi Pembangunan adalah mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya, terutama untuk menghasilkan stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global dan pemulihan usaha nasional. Sedang agenda yang harus dijalankan menurut kebijakan Reformasi Pembangunan termasuk melaksanakan deregulasi ketetapan-ketetapan yang menghambat investasi, produksi, distribusi, dan perdagangan, dan membuat perekonomian lebih efisien dan kompetitif dengan menghilangkan praktek monopoli serta mengembangkan sistem insentif yang mendorong efisiensi dan inovasi.
Dalam ketetapan tentang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

11.3. Dampak Krisis Ekonomi
Ketergantugan pembangunan infrastruktur pada impor membuat perkembangan telekomunikasi amat sensitif terhadap nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Pada waktu nilai tukar Rupiah terhadap US melonjak dan 2.371 menjadi 17.000 pada tanggal 21 Januari 1998, pembangunan telekomunikasi praktis dihentikan dan semua proyek yang sedang berjalan menjadi tidak layak.

11.4. Program Reformasi Ekonomi Nasional
Upaya pemulihan ekonomi nasional yang juga didukung IMF ini kurang lebih telah berjalan setahun dan dilaksanakan pemerintah dengan konsekuen dan konsisten. Secara berkala diadakan review yang biasanya menghasilkan program untuk periode berikutnya. Program periodik ini didokumentasikan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP). Dalam MEFP terakhir dan Suplemennya bulan November 1998, dikonfirmasikan bahwa, meskipun belum mantap benar, tanda-tanda perbaikan ekonomi makro mulai tampak. Berkat kebijakan keuangan yang ketat, Rupiah menunjukkan trend yang menguat. Harga bahan makanan cenderung menurun dan tingkat harga pada umumnya stabil. Begitu pula harga saham agak membaik. Meskipun demikian, stabilitas yang mantap dalam nilai tukar rupiah masih belum tercapai. Inflasi menunjukkan kecenderungan menurun, karena ditolong oleh menguatnya Rupiah.

11.5.Program Reformasi Telekomunikasi
Pada hakikatnya, komponen utama program reformasi nasional untuk mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah dan menstabilkan ekonomi, seperti diuraikan di atas, adalah deregulasi, pro- kompetisi, liberalisasi, restrukturisasi, pembukaan pasar (market access), dan pengaturan sebanyak




53

mungkin berorientasi pada mekanisme pasar. Menjadi keharusan bahwa semua kebijaksanaan reformasi telekomunikasi menyelaraskan komponen dan arahnya dengan kebijaksanaan reformasi ekonomi nasional tersebut.

12. Faktor Eksternal
Seperti telah diutarakan dimuka sifat telekomunikasi adalah inheren dengan jangkauan jarak jauh, sehingga mempunyai implikasi global. Sebaliknya, wujud dan bentuk lingkungan telekomunikasi dalam kebijaksanaan nasional tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang mempunyai dimensi global, diantaranya:

1. kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika yang dramatis sekali;
2. globalisasi ekonomi yang telah menempatkan telekomunikasi selain sebagai jasa yang diperdagangkan (tradeable), juga sebagai sarana vital bagi sebagian besar jasa lainnya, sehingga pengaturan telekomunikasi menjadi bagian dari resim perdagangan dunia di bawah WTO dan
3. datangnya masyarakat informasi yang menempatkan informasi menjadi faktor produksi yang amat strategis, sehingga pemanfaatannya yang benar merupakan penentu daya saing suatu ekonomi.

Ad.1. Kemajuan Teknologi Telekomunikasi dan Informatika
Teknologi bukan menjadi subyek utama, akan tetapi perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya fenomena baru dalam lingkungan telekomunikasi merupakan perhatian utama. Apresiasi mengenai perkembangan teknologi penyebab (enabling technology) tersebut dapat lebih memberi pemahaman akan potensi perubahan-perubahan mendasar yang terjadi. Yang dimaksud dengan teknologi penyebab dalam konteks ini adalah teknologi digital. Komputer sejak lahirnya sudah mempergunakan teknologi tersebut, sedang teknologi telekomunikasi sekarangpun telah sepenuhnya digital. Proses digitalisasi di televisi dan radio sekarang juga sudah dimulai. Pada waktu ini teknologi digital meliputi berbagai disiplin industri yang pada umumnya berhubungan dengan industri komputer dan telekomunikasi, seperti micro-elektronika, perangkat lunak dan transmisi digital. Penggunaan teknologi digital telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi, fleksibilitas dan efektibilitas biaya (cost-effectiveness). Lagi pula, teknologi tersebut telah teruji potensinya untuk meningkatkan kreativitas dan mendorong inovasi.
Dalam kurun waktu 25 tahun yang lalu, rasio antara harga dan kinerja (price / performance) teknologi digital (prosesor mikro, chip penyimpan dan sebagainya) telah menurun 10.000 kali atau 4 tata besaran (order of magnitude). Inipun baru permulaan. Sebab dengan teknologi yang sekarang telah dikuasai saja, rasio tersebut masih diperbaiki dengan tata besaran antara 4 sampai 5 dalam waktu yang lebih pendek. Tidak ada teknologi lain yang dalam segi rasio antara harga dan kinerjanya menunjukkan kemajuan seperti teknologi digital. Rasio antara harga dan kinerja yang terus menurun memungkinkan lebih banyak orang dapat memanfaatkan teknologi yang dasarnya digital. Maka dari itu tidak mengherankan bila frekuensi lahirnya jasa-jasa baru dalam telekomunikasi dan telematika yaitu persenyawaan telekomunikasi dan informatika makin lama makin meningkat. Hal ini, tidak boleh tidak, mempunyai implikasi signifikan sekali pada struktur industri telekomunikasi dan kerangka pengaturannya (regulatory framework).

Ad.2. Multimedia dan Internet
Representasi informasi yang telah dikode secara digital baik asalnya dari medium suara, bunyi, tulisan, ataupun gambar dapat disimpan, diproses, dipungut, (retrieved), dikompresi, dikombinasikan dan ditransmisikan dengan cara yang sama. Representasi informasi tersebut yang juga disebut representasi multimedia dapat disalurkan melalui jaringan digital apa saja, baik jaringan telekomunikasi, jaringan data maupun jaringan televisi. Ini berarti bahwa penyelenggaraan jasa telekomunikasi makin tidak tergantung pada anjungan (platform) yang menjadi infrastrukturnya. Contoh ketidaktergantungan jasa telekomunikasi pada anjungan yang palig relevan, pada waktu itu adalah Internet. Internet adalah jaringan dari jaringan (network of networks) yang dihubungkan secara terbuka melalui saluran transmisi yang disewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi domestik dan internasional. Dengan pertumbuhan yang luar biasa, dalam waktu pendek internet yang dulunya



54

merupakan jaringan data antar universitas, telah menjadi jaringan global yang menghubungkan 40 juta komputer (host) dan dipergunakan oleh lebih dari 150 juta pengguna. Dewasa ini, transaksi dagang untuk barang dan jasa yang dilakukan melalui internet telah mencapai 3 milyar USD setahunnya. Pada tahun 2000 jumlah niaga elektronis internet (internet e-commerce) diprediksi akan meningkat menjadi 100 sampai 150 milyar USD setahunnya).
Dalam pada itu, www (World – Wide – Web) telah menjadikan Internet anjungan yang populer untuk transmisi gambar berwarna, baik diam maupun bergerak, di samping tulisan. Sekarangpun, meski masih dengan kualitas sederhana, Internet telah merupakan permulaan suatu wahana transport suara waktu nyata (realtime). Maka sudah dapat dipastikan bahwa transformasi Internet untuk menjadi infrastruktur multimedia dengan liputan global akan menjadi kenyataan. Dengan demikian, perkembangan teknologi sebagai motor pendorong perubahana mendasar yang berdimensi global, antara lain, telah didemonstrasikan oleh Internet dengan jelas sekali. Hal ini tidak boleh tidak akan memberi warna baru pada lingkungan telekomunikasi di manapun, termasuk Indonesia.

Ad.3. Telekomunikasi Dalam Resim Perdagangan Dunia WTO
Sebagai faktor eksternal dan universal kedua yang mempengaruhin kebijakan reformasi telekomunikasi nasional adalah kenyataan baru bahwa resim telekomunikasi nasional telah menjadi bagian dari resim perdagangan global yang diadministrasikan oleh WTO (World Trade Organization). Telekomunikasi, sejak awal berfungsi untuk menjembatani jarak lama sebelum kata globalisasi menjadi populer, telekomunikasi sudah bersifat global. Juga sejak awal telekomunikasi adalah jasa, yaitu jasa untuk melayani masyarakat (public utility), terutama untuk menyelenggarakan hubungan antar individu. Karena kemajuan teknologi, sejak tahun 80-an, telekomunikasi juga merupakan sarana pembawa (delivery vehicle) jasa-jasa on-line seperti perbankan, penerbangan, niaga elektronik, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, telekomunikasi dalam bidang jasa menempati posisi yang unik, kalau tidak dikatakan sentral. Selain sentral, fungsi jasa telekomunikasi juga bersifat dual atau kembar. Pertama, secara intrinsik jasa telekomunikasi memang makin cenderung menjadi jasa yang diperdagangkan (tradeable). Kedua, jasa telekomunikasi juga merupakan jasa yang memungkinkan jasa lain seperti penerbangan untuk dikomersilkan secara luas. Spesifik dalam contoh ini, tanpa telekomunikasi, penerbangan, begitupun pariwisata atau perbankan tidak akan mungkin menjadi industri jasa yang berkurukuran raksasa seperti sekarang.
Fungsi telekomunikasi sebagai bagian integral dan vital untuk jasa lain, seperti shared- ATM di perbankan, Computer Reservation System (CRS) di penerbangan atau E-commerce di perdagangan yang secara nyata bersifat jasa komersial, memperkuat dimensi perdagangan jasa telekomunikasi. Akibatnya, serupa jasa lain dalam perdagangan yang kompetitif, telekomunikasi dituntut oleh pengguna-pengguan komersialnya untuk menyediakan pelayanan yang beragam, baik, andal, dengan tarif yang bersaing dan diselenggarakan bebas dari batasan monopoli seperti lazimnya jasa komersial. Kaidah-kaidah internasional yang berlaku di dunia komersialpun, khususnya perdagangan, juga dituntut untuk diberlakukan pada penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Akhirnya pada tahun1997, sesudah bertahun-tahun dirundingkan di Putaran Uruguay dalam rangka GATT, sebagian besar negara di dunia termasuk semua negara adikuasa telekomunikasi, telah menandatangani apa yang dinamakan World Trade Organization (WTO) Agreement on Basic Telecommunication yang bermaksud untuk meliberalisasikan pasar jasa telekomunikasi dasar. Sebagai konsekuensinya sejak 1 Januari 198 dasar hubungan dalam lingkungan telekomunikasi dunia berubah dari bilateral menjadi multilateral. Pasar jasa telekomunikasi yang dulunya tertutup berubah menjadi terbuka. Seperti jasa lainnya, jasa telekomunikasi diatur dalam traktat Internasional General Agrrement on Trade in Services (GATS). Sudah barang tentu perubahan ini tidak akan terjadi serta merta. Namun begitu, suatu pergeseran paradigma yang amat fundamental telah terjadi. Sejak tanggal itu pula, resim perdagangan dunia, khususnya yang mengenai komitmen untuk mengimplementasikan GATS dalam liberalisasi perdagangan jasa, berlaku pula untuk jasa telekomunikasi.
Hal ini berbeda sekali dengan kelaziman yang berlaku bagi jasa telekomunikasi sejak dulu. Pelayanan telekomunikasi selalu dianggap sebagai jasa yang non-komersial dan pada umumnya diselenggarakan oleh negara dalam lingkungan monopoli. Lagipula, sejak dulu konvensi internasional yang dituangkan dalam ITR (Internasional Telecommunications Regulation) di bawah payung ITU




55

(Internasional Telecommunication Union) selalu didasarkan pada kedaulatan negara masing-masing dalam mengatur telekomunikasinya.

12.1. Jadwal Komitmen Dalam Rangka WTO
Meskipun dalam lingkup nasional, komitmen yang diberikan negara anggota dalam rangka WTO harus dilaksanakan karena ada sanksinya. Komitmen WTO untuk liberalisasi jasa telekomunikasi dasar didokumentasikan dalam Jadwal Komitmen Tentang Telekomunikasi Dasar
(Schedule Of Commitments on Basic Telecommunications) bagi masing-masing negara anggota. Komitmen multilateral ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa kepastian yang menjadi bagian suatu traktat internasional akan mempunyai kredibilitas yang jauh lebih tinggi di mata investor yang berpotensial. Dalam jadwal komitmennya untuk jasa telekomunikasi dasar, Indonesia menyatakan antara lain, bahwa :
• Jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung jarak jauh nasional diselenggarakan secara eksklusif oleh PT Telkom sampai dengan tahun 2000;
• Jasa telekomunikasi tetap sambungan internasional diselenggarakan secara duopoli oleh PT Indosat dan PT Satelindo sampai dengan tahun 2004;
• Jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal diselenggarakan secara eksklusif oleh PT Telkom sampai dengan tahun 2010;
• Jasa telekomunikasi bergerak seluler diselenggarakan secara kompetitif oleh penyelenggara yang sahamnya dapat dimiliki investor asing sampai 35 %.
Dalam Komitmen Tambahan (Additional Commitment), dinyatakan bahwa pada akhir masa eksklusivitas atau duopoli yang disebutkan di atas, Indonesia akan mengadakan peninjauan mengenai kemungkinan penerbitan izin baru.
Seperti halnya kebanyakan negara lain, komitmen Indonesia sebenarnya mengkonfirmasikan status liberalisasi di lingkungan telekomunikasi pada waktu itu. Akan tetapi semua sadar, bahwa komitmen itu juga merupakan ikatan bahwa tidak akan ada pengurangan (roll-back) dari derajat liberalisai yang telah dinyatakan dalam Jadwal Komitmen tentang Telekomunikasi Dasar. Bahkan perjanjian GATS menuntut agar dalam tiap putaran negosiasi perdagangan yang akan datang disampaikan komitmen baru yang mencantumkan peningkatan derajat liberalisasi dalam bidang jasa, termasuk jasa telekomunikasi..

12.2. Kertas Referensi WTO (WTO Reference Paper)
Dengan dasar pemikiran sebagaimana telah diuraikan di atas, dibuat pula satu perangkat pengaturan untuk menjamin kompetisi yang sehat. Pengaturan ini didokumentasikan dalam Kertas Referensi WTO (WTO Reference Paper). Banyak negara, termasuk Indonesia, menandatangani komitmennya untuk memasukkan pengaturan ini dalam kerangka regulasi telekomunikasi di negara masing-masaing. Saat berlakunya komitmen liberalisasi jasa telekomunikasi dasar dalam Jadwal Komitmen Tentang Telekomunikasi Dasar, ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan mengingat kesiapan masing-masing. Dalam hal Kertas Referensi WTO, bagi negara anggota yang menandatangani tanpa kualifikasi, seperti Indonesia, saat mulai berlakunya adalah tanggal 1 Januari
1998. Seperti diuraikan di atas, lain dengan ITU, WTO melalui mekanisme penyelesaian sengketanya, dapat menerapkan sanksi apabila komitmenn yang telah dibuat suatu negara anggota tidak ditepati.
Pengaturan Kertas Referensi WTO yang diharuskan untuk dimasukkan dalam regulasi nasional negara anggota yang telah memberikan komitmennya meliputi :
• Pencegahan praktek ahli-kompetisi dalam telekomunikasi
• Tindakan pencegahan praktek ahli-kompetisi oleh penyelenggara dominan (incumbent) terhadap penyelenggara baru harus diberlakukan.
• Interkoneksi
• Syarat bagi semua jaringan penyelenggara baru untuk interkoneksi dengan penyelenggara dominan (incumbent) harus sama dan diberlakukan tanpa diskriminasi.
• Pelayanan universal





56

• Proses pelaksanaan dan pembebanan kewajiban penyelenggaraan pelayanan universal harus transparan tanpa diskriminasi dan netral dari segi persaingan.
• Kriteria pemberian lisensi yang harus diumumkan
• Pemberian lisensi harus dilakukan melalui proses yang transparan.
• Regulator independen
• Regualator harus bebas dari ketergantungan pada penyelenggara telekomunikasi.
• Alokasi dan pemakaian daya (resource) yang langka
• Alokasi sumber daya langka (misalnya; Frekuensi, orbit satelit, nomor, tanah negara) harus dilaksanakan melalui proses yang adil, transparan dan tanpa diskriminasi.
Sebagian dari yang diwajibkan Kertas Referensi WTO telah ada dalam regulasi Indonesia wkatu ini. Akan tetapi, agar dapat memenuhi sepenuhnya, perlu diadakan penyempurnaan.

12.3. Masyarakat Informasi
Kedatangan masyarakat informasi tidak pada suatu saat tertentu, melainkan merambat melalui suatu proses yang menyebabkan informasi diterima dan diakui sebagai faktor produksi sehingga mempunyai nilai ekonomis. Artinya orang bersedia mengeluarkan biaya untuk mendapatkan informasi yang tepat guna, tepat waktu dan tepat ruang. Mendapatkan informasi yang sifatnya seperti itu dengan biaya yang masuk akal dan terjangkau oleh para pelaku ekonomi, baru mungkin setelah terjadinya kemajuan pesat dalam teknologi telematika, yaitu persenyawaan teknologi komputer
(informatika) dengan teknologi telekomunikasi. Hal inidisebabkan oleh kecenderungan rasio antara harga dan kinerja (price performance ratio) teknologi digital yang menjadi dasar teknologi telematika terus menerus menurun.
Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi tersebut memungkinkan manusia untuk memproses, menyimpan, mencari kembali dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk apapun – oral, tekstual ataupun visual – tanpa adanya kendala jarak, waktu, dan volume. Dalam masyarakat informasi kemampuan mengakses dan kepandaian memanfaatkan informasi sebagai faktor produksi yang strategis menentukan kegagalan atau sukes dalam persaingan. Dalam hubungan ini, apabila infrastruktur informasi yang sebagai intinya adalah telekomunikasi tidak tesedia dengan memadai, maka daya saing ekonomi akan mengalami kendala serius. Infrastruktur informasi ini juga sering disebut secara populer sebagai Nasional Information Superhighway. Dalam hubungan ini, kebijakan reformasi telekomunikasi Indonesia tidak boleh terlepas dari agenda persiapan memenuhi kebutuhan masyarakat informasi Indonesia akan infrastruktur informasinya.






























57



BAB TIGA
Menuju Telekomunikasi Indonesia
Masa Depan



A. Pengertian Reformasi, Restrukturisasi, Regulasi, Liberalisasi dan Privatisasi26
Pengertian reformasi dalam konteks telekomunikasi di Indonesia dipahami oleh Pemerintah sebagai semua perubahan dan pembaruan perbaikan yang meliputi segala aspek, baik aspek hukum, kebijakan, pengaturan, partisipasi swasta, maupun penyelenggaraan. Sedangkan restrukturisasi berarti perubahan suatu tatanan atau struktur. Pengertian tentang tatanan dapat dipahami dalam bermacam-macam konteks. Misalnya, tatanan lingkungan operasi yang dapat berupa penyelenggara tunggal atau multi-penyelenggara, tatanan pasar yang bisa monopolistis atau kompetitif; tatanan yang menyangkut fungsi pemerintah: pemerintah memiliki, membangun dan menyelenggarakan telekomunikasi atau pemerintah hanya menentukan kebijakan, mengatur, mengawasi dan mengendalikan penyelenggaraan telekomunikasi. Begitu pula, tata hubungan antar-penyelenggara yang didasarkan pada adanya saham penyelenggara yang dimiliki pemerintah atau hanya tergantung pada jenis jaringan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakan.
Regulasi diberi pengertian sebagai suatu proses untuk memastikan agar penyelenggaraan telekomunikasi berjalan menurut peraturan (rules) yang ditentukan. Peraturan dalam pengertian yang demikian pada umumya, bertujuan untuk menjabarkan, mengadministraskan dan mengimplementasikan kebijakan yang dikodifikasikan dalam undang-undang dan ketetapan lain yang ditentukan Menteri Perhubungan.
Liberalisasi berarti pengurangan penghapusan restriksi. Misalnya, restriksi dalam konteks, penghapusan larangan memasuki pasar (entry restriction) atau penghapusan larangan menyambungkan pesawat telepon selain produk manufaktur tertentu. Begitu pula dalam penghapusan pembatasan kepemilikan asing dalam saham penyelenggara. Pada umumnya penggunaan kata liberalisasi dan deregulasi sering hanya berbeda dalam penekanan.
Privatisasi diberi pengertian yang lebih spesifik, yaitu transfer atau pengalihan kepemilikan pemerintah atas saham BUMN penyelenggara telekomunikasi seluruhnya atau sebagian kepada masyarakat melalui bursa atau langsung kepada investor.

B. Reformasi Makro Telekomunikasi Indonesia
Yang dimaksudkan dengan reformasi telekomunikasi Indonesia adalah pembaruan kebijakan yang meliputi restrukturisasi semua tatanan yang relevan, termasuk tatanan hukum dan industri serta liberalisasi lingkungan usaha dalam telekomunikasi dan juga termasuk strategi restrukturisasi ke dua BUMN yang menjadi badan penyelenggara telekomunikasi.
Sesungguhnya, reformasi dilakukan meliputi semua aspek, namun ada tiga pokok pembaruan yang esensial sekali, yaitu:
• menghapuskan bentuk monopoli memungkinkan persaingan dalam semua kegiatan penyelenggaraan dan mencegah penyelenggara yang memiliki kekuasaan pasar (market power) yang besar melakukan tindakan yang bersifat anti-persaingan;



26 Bagian ini sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya. Akan tetapi karena materi pengaturannya cukup berbeda, maka uraian bidang ini dijadikan bab tersendiri.



58

• menghapuskan diskriminasi dan restriksi bagi perusahaan swasta - besar maupun kecil dan koperasi untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraa jaringan dan jasa telekomunikasi (dengan perkataan lain dalam investasi dan/atau operasi di bidang telekomunikasi),
• mengkhususkan peran pemerintah sebagai pembina - yang terdiri atas perbuatan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi serta memisahkannya dari fungsi operasi.
Pemerintah berpandangan bahwa telekomunikasi Indonesia di masa depan mempunyai tiga ciri utama, yaitu adanya :
• cukup pilihan bagi pelanggan atau pengguna jasa telekomunikasi baik dalam jenis maupun dalam penyelenggara jasa tesebut.
• partisipasi aktif pihak swasta baik dalam modal maupun dalam penyelenggaraan serta
• regulasi yang efisien dan kondusif untuk investasi jangka panjang.
Pemerintah menegaskan bahwa reformasi telekomunikasi Indonesia bukannya merupakan satu peristiwa, melainkan satu proses. Bahkan satu proses yang iteratif. Untuk restrukturisasi suatu perusahaan saja kebanyakan tidak dilakukan sekaligus dalam satu ketika. Justru kebijakan reformasi yang direncanakan untuk dilaksanakan dalam jangka waktu yang terlalu singkat, tidak akan mencapai sasarannya. Juga disadari oleh Pemerintah bahwa pelaksanaan kebijakan reformasi yang digariskan Cetak Biru ini membutuhkan beberapa tahun. Di samping itu, pemerintah juga sadar dan berketetapan untuk melaksanakannya secara konsekuen, terbuka dan konsisten. Sebab bagi investor syarat yang tidak bisa ditawar adalah kebijakan reformasi telekomunikasi Indonesia yang dari segi kredibilitas, transparansi dan konsistensi tidak diragukan lagi. Jadwal pelaksanaan kebijakan reformasi telekomunikasi yang merupakan peta perjalanan (road map) reformasi.

C. Restrukturisasi peraturan perundangan
Penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia, didasari oleh undang-undang telekomunikasi yang mengkodifikasikan kebijakan pemerintah tentang telekomunikasi. Karena Undang-undang pada umumnya hanya menggariskan inti dari pokok-pokok kebijakan tersebut, untuk pelaksanaannya diterbitkan perangkat regulasi melalui beberapa jenis instrumen hukum yang sesuai. Sedang implementasinya dilaksanakan oleh otoritas regulasi yang biasa disebut regulator.

D. Pokok Kebijakan Yang Perlu Dikukuhkan dalam UU
Pemerintah berketetapan hati menetapkan pokok kebijakan yang perlu dikukuhkan dalam Undang-undang Telekomunikasi yang baru, yaitu:
a. Kebijakan pro persaingan
Menegaskan bahwa lingkungan telekomunikasi INdonesia berkarakter multi operator, berdasarkan persaingan dan pro konsumen.
b. Pemisahan fungsi pembinaan dan penyelenggaraan
Menegaskan bahwa penguasaan telekomunikasi oleh negara dilakukan dalam bentuk pembinaan oleh pemerintah. Sedang pembinaan meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian. Dengan demikian terjadi pemisahan antara pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi.
c. Non diskriminasi atas dasar struktur kepemilikan
Kewenangan yang diberikan kepada penyelenggara tidak didasarkan pada adanya saham penyelenggara yang dimiliki pemerintah, melainkan tergantung pada jenis jaringan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara.
d. Tarip berorientasikan biaya
Susunan tarip jasa telekomunikasi ditentukan oleh pemerintah dengan memperhatikan antara lain basis biaya dan mekanisme pasar.
e. Mekanise perizinan (licensing)
Prinsip pemberia izin penyelenggaraan telekomunikasi adalah :




59

(i) tata cara yang sederhana;
(ii) proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif, serta
(iii) penyelesaian dalam waktu yang singkat. f. Interkoneksi
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib melaksanakan interkoneksi bila diminta oleh dan berhak meminta interkoneksi dengan jaringan telekomunikasi lain.
g. pelayanan universal
Dalam lingkungan multi-operator pelayanan univrsal dapat berbentuk penyediaan sarana telekomunikasi atau berupa kontribusi antar penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi h. Akses yang setara (equal access)
Agar semua jaringan telekomunikasi dalam lingkungan multi jaringan dapat diakses pelanggan suatu jaringan, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan pelanggannya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi .
i. Standar teknik
Spesifikasi standar teknik harus bersifat
(i) netral terhadap teknologi dan
(ii) berdasar pada standar internasional
j. Perlindungan Konsumen
Penyelenggara telekomunikasi publik wajib memberikan ganti rugi kepada pengguna, apa bila terbukti bahwa karena kelalaiannya pengguna tersebut menderita kerugian atas penggunaan atau jasanya.


E. Regulasi





Perangkat regulasi pertama-tama dimaksudkan sebagai pengaturan untuk:

1. melindungi kepentingan konsumen jasa telekomunikasi dalam hal kualitas pelayanan yang diterima, harga yang harus dibayar, dan pilihan yang didapat.
2. Mendorong dan memastikan kelangsungan persaingan yang sehat, berlanjut, dan setara dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
3. Menggalakkan partisipasi swasta (masyarakat) dalam investasi dan operasi dalam bidang telekomunikasi, termasuk membuka kesempatan usaha bagi perusahaan menengah, kecil dan koperasi;
4. Mendorong pemerataan liputan jasa telekomunikasi ke seluruh wilayah Indonesia
Pelaksanaan UU baru diatur lebih rinci dalam perangkat regulasi yang harus dapat diketahui umum, seperti diisyaratkan Kertas Referensi. Berikut diuraikan beberapa pokok kebijakan regulasi yang relevan.
a. Persaingan
Dengan menghapuskan monopoli,tidak otomatis akan terjadi persaingan atas dasar yang setara dan sehat (fair). Maka dari itu, regulasi diarahkan untuk menstimulasi persaingan disemua penyelenggaraaan dan mencegah pelenggara telekomunikasi yang dominan menyalahgunakan kekuasaan pasar (market power) yang dimilikinya.
b. Investasi swasta
Untuk menggalakkan investasi modal swasta, dalam regulasi diatur peningkatan bertahap kepemilikan penyelenggara telekomunikasi oleh investor asing. Dalam hal ini kepemilikan pihak nasional harus selalu lebih besar dari kepemilikan asing. Catatan. Dalam jadwal komitmen yang disampaikan Indonesia kepada WTO dinyatakan kepemilikan asing dalam saham penyelenggara jasa telepon bergerak seluler dapat sampai 35%. Ini tidak berarti bahwaa batas tadi tidak dapat dinaikkan atau dihapus setiap saat. Yang dilarang WTO adalah diturunkannya batas tadi sebelum atau pada putaran negosiasi perdagangan yang akan datang.
c. Otoritas regulasi (regulator)
Liberalisasi telekomunikasi tidak berakhir dengan ditentukannya suatu kebijakan politik. Transformasi telekomunikasi Indonesia dari monopoli ke persaingan memerlukan supervisi terus-menerus dan solusi terhadap banyak sekali masalah yang tidak mungkin



60

semuanya bisa diantisipasi sebelum dimulainya proses. Satu otoritas regulasi atau regulator yang diberi wewenang cukup dalam rangka legislasi merupakan kebutuhan mutlak untuk mengatur dan mensupervi mutlak untuk mengatur serta menegakkan
(enforce) regulasi telekomunikasi. Lagi pula, Kertas Referensi WTO juga mensyaratkan adanya regulator yang independen dan penyelenggara sebagai langkah pemisahan antara regulasi dan operasi. Pada waktu ini fungsi regulator dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan. Pemerintah berniat untuk, pada waktunya, melangkah lebih jauh dengan melembagakan regulator yang kuat, dilengkapi dengan staf yang sangat kompeten serta diber kewenangan luas dalam mengatur, mengendalikan dan mengawasi telekomunikasi Indonesia serta
mempertahankan momentum pelaksanaan liberalisasi. d. Tarif
Seperti dijelaskan di atas butir, penentuan tarip (pricing), antara lain berprinsip pada orientasi biaya dan mekanisme pasar. Untuk pengendalian tarip (price control), terutama untuk jasa telekomunikasi yang belum sepenuhnya terjadi kompetisi (masih terjadi penguasaan pasar oleh satu penyelenggara) akan diteruskan penggunaan metode pride cap. Dengan metoda ini suatu maksimum (cap) diberlakukan untuk perubahan tarip periodik bagi satu atau sekelompok basket) jasa telekomunikasi. Besarnya maksimum itu ditentukan oleh faktor inflasi dan perbedaan keunggulan produktivitas (productivity gain) telekomunikasi dibandingkan produktivitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
e. Perizinan (licensing)
Proses penerbitan izin (lisensi) dilaksanakan secara transparan, melalui proses evaluasi/seleksi dengan terlebih dulu mengumumkan.
(i) Jumlah ijin yang akan dikeluarkan;
(ii) untuk jenis jaringan atau jasa telekomunikasi apa lisensi akan diterbitkan,

(iii) lokasi dan wilayah penyelenggaraan;
(iv) kriteria untuk mendapatkan izin;
(v) sampai kapan permohonan dapat diajukan (harus lebih lama dari 30 hari sesudah pengumuman);
(vi) kapan izin dikeluarkan, dan
(vii) biaya yang terkait dengan penerbitan lisensi dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang akan dibebankan pada penyelenggara sesudah menerima lisensi. Lisensi juga mencantumkan kualitas penyelenggaraan telekomunikasi yang harus dicapai penyelenggaranya dalam waktu tertentu. Begitu pula, ditentukan sanksinya bila syarat tersebut tidak dipenuhi. Sanksi antara lain dapat berupa teguran, denda atau pencabutan lisensi. Lain dari pada itu, lisensi mencantumkan kewajiban dan hak penyelenggara yang spesifik untuk jenis penyelenggaraan telekomunikasi yang diizinkan. Oleh karena itu terdapat beberapa kategori lisensi. Untuk penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, seperti jaringan telepon tetap atau jaringan bergerak selular, lisensi diterbitkan secara individual, yang pada umumnya didasarkan pada seleksi. Namun untuk beberapa jenis penyelenggaraan jasa telekomunikasi atau jasa penjualan ulang (resale), lisensi klas
(class license) diterbitkan atas dasar notifikasi. Dalam hal ini kewajiban dan hak serta syarat atau prosedur lainnya dicantumkan dalam lisensi dan diterbitkan secara umum. Barang siapa merasa mampu memenuhi apa yang dicantumkan dan bersedia diikat oleh syarat-syarat lisensi kelas tersebut, ckup mendaftarkan dan mengikuti prosedur untuk mulai penyelenggaraan jenis jasa telekomunikasi bersangkutan
f. Standar
Penentuan standar teknik nasional merupakan bagian integral pengembangan persaingan yang efisien setelah bidang telekomunikasi mengalami liberalisasi. Tujuan utama standar teknik adalah :
(i) memastikan bahwa dalam lingkungan multi-operator dan multi jaringan selalu terdapat konektivitas antara pelanggan jaringan yang satu dengan pelanggan jaringan lain (any-to any);



61

(ii) menjamin interoperabiilitas jasa telekomunikasi,
(iii) melindungi integritas jaringan dan
(iv) melindungi kesehatan dan keselamatan manusia yang terlibat dalam operasi dan penggunaan
g. Pengelolaan sumber daya terbatas
Pengelolaan sumber daya terbatas, seperti frekuensi radio, orbit satelit dan penomoran jaringan, harus selalu aktuaf dan alokasinya dilakukan secara transparan, adil, fleksibel dan netral dari segi persaingan. Perlu diingat bahwa spektrum merupakan sumberdaya alam yang langka (scarce), sedang nomor merupakan sumber daya jaringan yang ada batasnya (finite). Oleh karena itu, rencana penomoran nasional untuk jasa telekomunikasi dan pelanggan telekomunikasi harus selalu aktual terhadap kepesatan perkembangan telekomunikasi
Prinsip pengaturan penggunaan pengelolaan spektrum adalah :
(i) responsif terhadap permintaan masyarakat akan frekuensi;
(ii) handal dalam mencegah terjadinya gangguan dan
(iii) efisien, obyektif dan adil dalam menyelesaikan sengketa (conflict) mengenai penggunaan frekuensi.
h. Liberalisasi peralatan terminal pelanggan (CPE) dan non-CPE Meskipun penyediaan alat terminal pelanggan telah dibebaskan, uji tipe yang merupakan prosedur administratif dalam pengujian teknis guna memverifikasi apakah tipe alat bersangkutan sesuai (comply) dengan standar teknik nasional, masih harus dilakukan, sebelum alat dengan tipe bersangkutan dapat dijual atau disambungkan dengan jaringan telekomunikasi publik. Meskipun demikian menurut kebutuhan, regulator dapat mengesampingkan (waive) keharusan ini. Mengenai uji tipe peralatan terminal pelanggan, Indonesia terikat pada kesepakatan MRA (Mutual Recognition Arrangement) dalam rangka APEC. Dalam hal liberalisasi peralatan non-CPE, penyelenggara berhak memilih produk sejenis dari jumlah produsen yang terbatas untuk menyederhanakan perawatan dan logistik.
i Penggunaan lahan milik negara atau swasta.
Dalam rangka penggelaran infrastruktur telekomunikasi, kepada penyelenggara dapat diberikan kemudahan untuk memanfaatkan dan melintasi lahan negara. Pemanfaatan lahan milik perorangan atau badan swasta didasarkan atas persetujuan penyelenggara dan milik lahan.
j. Pelayanan universal
Kewajiban menyediakan layanan universal universal service obligation merupakan fungsi sosial telekomunikasi. Penyediaan pelayanan universal bertujuan mencapai situasi yang memungkinkan semua penduduk Indonesia secara wajar dapat mengakses pelayanan telepon dengan kualitas dan pembayaran yang tidak tergantung di mana ia bertempat tinggal. Komponen pengaturan USO dalam lingkungan multi operator adalah:
(i) mengadministrasikan proses USO secara transparan;
(ii) tanpa diskriminasi
(iii) netral terhadap kompetisi, dan
(iv) tidak terlalu memberatkan penyelenggara yang diwajibkan untuk menyelenggarakannya.
Berhubung PT. Telkom sampai dengan tahun 2010 menyelenggarakan jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal secara eksklusif, maka pada waktu ini penyediaan pelayanan universal wajib dilaksanakan PT. Telkom. Kalau ada defisit yang diderita PT. Telkom dalam melaksanakan kewajiban USO-nya, maka kekurangan ini ditutup dari kontribusi penyelenggara lain melalui proses yang diadministrasikan secara transparan.
k. Interkoneksi
Prinsip pengaturan interkoneksi adalah:





62

(i) penyelenggara jaringan dominan harus mengizinkan semua jaringan lain mengadakan interkoneksi dengan jaringannya dengan cara yang adil, tanpa diskriminasi dan dengan pembayaran yang berorientasi biaya;
(ii) permintaan interkoneksi dilaksanakan dalam waktu yang tidak terlalu lama;
(iii) model perjanjian interkoneksi mudah didapat dan
(iv) adanya regulator yang menjadi wasit dalam sengketa interkoneksi.

Restrukturisasi industri telekomunikasi
Tatanan industri telekomunikasi yang direstrukturisasi tidak lagi membedakan antara kegiatan bisnis penyelenggaraan jasa telekomunikasi dasar dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi bukan dasar. Melainkan antara kegiatan bisnis penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Oleh karena itu, dalam pertelekomunikasian Indonesia yang sudah direformasi akan terjadi dua jenis persaingan, yaitu persaingan dalam infrastruktur (network competition) dan persaingan dalam pelayanan
(service competition).
Mengingat pembangunan infrastruktur telekomunikasi membutuhkan modal yang tidak sedikit, persaingan yang hebat antar jaringan terutama jaringan telepon tetap lokal tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Sebaliknya, persaingan antar pelayanan dapat didorong agar lekas berlangsung. Modal yang diperlukan penyelenggara jasa telekomunikasi relatif tidak begitu besar karena penyelenggara tidak perlu membangun sendiri infrastrukturnya melainkan menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi. Regulasi mewajibkan tarip sewa infrastruktur ini berorientasi pada biaya (cost oriented) sehingga tidak menghambat terjadinya persaingan antar pelayanan. Oleh karena itu usaha menengah, kecil dan koperasi berpotensi untuk aktif dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pola penyelenggaraan telekomunikasi Indonesia ditentukan sekali oleh masih atau sudah tidak adanya eksklusivitas dan duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Butir 17 dan 18 berikut menjelaskan kebijakan pemerintah mengenai kasus penyelenggaraan telekomunikasi secara eksklusif dan duopoli.

Hak eksklusivitas
Ada beberapa jasa telekomunikasi yang tetap masih diizinkan untuk diselenggarakan secara eksklusif atau duopoli sampai waktu tertentu yaitu :
1. Penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap sambungan internasional diizinkan untuk dilakukan oleh PT INDOSAT secara duopoli sampai dengan tahun 2004;
2. penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung jarak jauh nasional dizinkan untuk dilakukan oleh PT TELKOM secara eksklusif sampai dengan tahun 2005; serta
3. penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal diizinkan untuk dilakukan oleh PT TELKOM secara eksklusif sampai dengan tahun
2010.
Sampai saat ini, pemerintah bermaksud dalam rangka menepati komitmen internasional untuk mempertahankan masa laku penyelenggaraan secara eksklusif dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal dan penyelenggaraan dan jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung jarak jauh nasional bagi PT TELKOM serta masa laku penyelenggaraan secara duopoli untuk penyelenggaraan jasa telekomunikasi tetap sambungan internasional bagi PT INDOSAT. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk memperpendek masa laku eksklusivitas dan duopli tersebut tanpa merugikan BUMN yang bersangkutan.

Persaingan dalam infrastruktur
Liberalisasi pertelekomunikasian Indonesia, untuk jaringan telekomunikasi tetap, baru bisa terjadi sesudah tahun 2010, yaitu sesudah semua masa eksklusivitas dan duopoli



63

dalam penyelenggaraantelekomunikasi berakhir. Oleh karena itu, dan sekarang sampai tahun
2010 merupakan masa transisi menuju liberalisasi secara total. Dalam hal jasa telekomunikasi bergerak sekarangpun telah terjadi persaingan dalam infrastruktur. Selain konsisten dengan pemberian hak eksklusivitas, terjadinya persaingan dalam infrastruktur untuk telepon lokal berdasarkan kawat (wireline) baru sesudah tahun 2010 mempunyai alasan lain, yaitu untuk memungkinkan penyelenggara telepon lokal regional
(PT TELKOM dan mitranya), secara eksklusfi sampai dengan tahun 2010, meneruskan investasinya dalam pembangunan jaringan lokal (line build). Hal ini pertama-tama diperlukan untuk menaikkan teledensitas Indonesia, yang pada waktu ini paling rendah di kawasan Asia Tenggara. Kedua, untuk memenuhi permintaan akan sambungan telepon sesuai dengan perkembangan pasar. Perlu diingat bahwa investasi dalam telepon lokal jauh lebih masif, bila dibandingkan dengan investasi dalam jaringan telepon internasional atau jaringan telepon tetap sambungan langsung jarak jauh nasional. Sesudah tahun 2005, di bawah UU Telekomunikasi yang baru, persaingan dalam infrastruktur untuk jasa telekomunikasi tetap sambungan internasional dan jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung jarak jauh, tidak akan ada masalah bila dilihat dari segi hukum.

Persaingan dalam pelayanan
Pada waktu ini persaingan dalam pelayanan sudah terjadi, meskipun persaingan dalam jaringan telekomunikasi tetap belum terjadi. Hal ini diperlihatkan seperti: jasa telekomunikasi (akses) Internet, nilai tambah (value added service atau VAS), trunking, paging, dan penyewawaan tranponder satelit.
Seperti diutarakan di muka, jasa telekomunikasi tersebut diselenggarakan dengan menyewa infrastruktur dari penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap seperti PT TELKOM. Secara teknis, hubungan infrastruktur yang disewa dengan jaringan telekomunikasi tetap (fixed) tidak merupakan interkoneksi sebagai mana halnya hubungan antara jaringan telepon bergerak dengan jaringan telepon tetap. Begitu juga dasar hubungan komersialnya.

Penyelenggara telekomunikasi
Pada waktu ini penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap adalah BUMN yang berstatus badan penyelenggara. Pengecualian yang agak material adalah: penyelenggara telepon internasional kedua yang merupakan usaha patungan antara badan penyelenggara dan perusahaan swasta. Penyelenggara jaringan telekomunikasi bergerak seluler semuanya merupakan badan usaha patungan antara badan penyelenggara dan perusahaan swasta. Sedang penyelenggara jasa telekomunikasi hampir semuanya murni badan usaha swasta, dengan status badan lain.
Pertelekomunikasian Indonesia yang sudah direformasi total, semua penyelenggara jaringan telekomunikasi harus mempunyai izin dengan status dan wewenang yang sama untuk jenis penyelenggaraan telekomunikasi yang sama. Mereka tidak lagi diwajibkan mengadakan kerjasama untuk menyelenggarakan telekomunikasi, seperti dalam resim Undang-undang Nomor 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi yang mengharuskan Badan Lain bekerjasama dengan Badan Penyelenggara untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi dasar.
Meskipun statusnya menurut kerangka regulasi yang berlaku di bidang telekomunikasi itu sama, kekuasaan pasar (market power) yang dimiliki penyelenggara dapat berbeda, bahkan berbeda jauh sekali. Sebagai contoh, penguasaan pasar penyelenggara yang semula (Badan Penyelenggara) besar sekali, karena pangsa pasarnnya praktis masih seratus persen. Sedang pangsa pasar permulaan penyelenggara pendatang baru, bagaimanapun kuatnya, praktis sama dengan nol. la tidak akan mungkin berkembang tanpa mengadakan interkoneksi dengan jaringan badan penyelenggara yang dominan tadi. Oleh karena itu, harus dibuat regulasi mengenai interkoneksi yang adi (fair) untuk memungkinkan persaingan atas dasar kesetaraan (level playing field).




64

Liberalisasi lingkungan berusaha
Liberalisasi lingkungan berusaha berarti penghapusan restriksi dan diskriminasi, terutama restriksi dan diskriminasi dalam berusaha atau berbisnis di bidang telekomunikasi Indonesia. Oleh karena itu, liberalisasi telekomunikasi Indonesia mempunyai dua fokus yang penting, yaitu :
1. pembukaan pasar telekomunikasi dan
2. menghapus diskriminasi atas dasar kepemilikan negara dalam saham penyelenggara. Hal ini antar lain dilaksanakan dengan merestrukturisasi-kan semua BUMN di bidang telekomunikasi, yaitu PT TELKOM dan PT INDOSAT.
Penghapusan semua hambatan untuk memasuki pasar telekomunikasi Indonesia
(market entry) bagi mereka yang memiliki kelayakan berusaha dalam penyelenggaraan telekomunikasi, dilaksanakan bertahap. Tahapan ini disesuaikan dengan akhir masa laku penyelenggaraan telekomunikasi tetap secara eksklusif dan duopoli dari kedua Badan Penyelenggara tersebut.





















































65



BAB EMPAT
Pengaturan Penyelenggaraan
Telekomunikasi
dalam Undang-undang Nomor 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

I. Catatan Umum
Tidak semua orang mudah membaca dan memahami isi undang-undang. Hal ini terutama disebabkan tingkat pendidikan yang berbeda. Selain itu, kesulitan pemahaman itu bertambah lagi sebagai akibat bentuk legal formal isi undang-undang itu sendiri. Misalnya, acapkali dijumpai adanya Penjelasan setiap pasal per pasal dari sebuah undang-undang. Kadangkala disebutkan “Cukup Jelas”, padahal sesungguhnya tidak jelas. Tetapi begitulah rupanya bahasa hukum, kalau tidak sulit, kalau tidak punya ciri sendiri rasanya kurang mantap rasanya. Oleh karena itu, dirasakan perlu menuliskan ulang dalam bahasa yang lebih sederhana untuk lebih mudah memahami tentang pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

II. Catatan Khusus
Keseluruhan materi muatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi divisualisasikan dalam bentuk kalimat dengan bahasa yang lebih sederhana ke dalam 22 (duapuluh dua) bagian.

II.1. Landasan filosofis
Ada lima landasan filosofis yang dijadikan dasar pembenar pengaturan kembali telekomunikasi di Indonesia. Pertama, bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh peraturan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antarabangsa. Ketiga, bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelengaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi. Keempat, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Kelima, bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti;

II.2. Latar Belakang Pemikiran
Disadari betul bahwa sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa



66

dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.

Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Service (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April
1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peran Pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
1945, yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan nasional serta dengan memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara nasional maupun internasional, terutama di bidang teknologi telekomunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi perlu diganti.



II.3. Pengertian Umum
Dalam Undang-undang ini, terdapat 17 (tujuh belas) pengertian umum yang digunakan sebagai acuan dalam memaknai dan memahami seluruh ketentuan batang tubuh Undang- undang Telekomunikasi. Ketujuhbelas pengertian umum itu adalah sebagai berikut.
• Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya;
• Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
• Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi ;




67

• Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
• Pemancar radio alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
• Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
• Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
• Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Swasta, Instansi Pemerintah dan Instansi Pertahanan Keamanan Negara;
• Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
• Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan telekomunikasi dan atau yang tidak berdasarkan kontrak;
• Pengguna adalah pengguna dan pemakai;
• Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
• Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
• Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
• Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, dan pengoperasiannya khusus;
• Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
• Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

II.4. Asas Penyelenggaraan Telekomunikasi
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri. Dalam menyelenggarakan telekomunikasi memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas pembangunan nasional dengan mengutamakan asas manfaat, asas adil, dan merata, asas kepastian hukum, dan asas kepercayaan pada diri sendiri, serta memprhatikan pula asas keamanan, kemitraan, dan etika.

Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.

Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.

Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjami kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi.

Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi



68

telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.

Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan telekomunikasi.

Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa
dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.


II.5. Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa. Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah.

II.6. Pembinaan Telekomunikasi
Telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Mengapa demikian ? Pembuat undang-undang mempunyai arugumentasi karena mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam penyelenggaraan ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Dengan begitu pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, dan pengendalian. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi, ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional. Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan terhadap penguasaan pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi. Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.

II.7. Peranserta Masyarakat Menyelenggarakan Telekomunikasi

Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat. Dalam posisi yang demikian, pelaksanaan pembinaan telekomunikasi yang dilakukan Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat, berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang




69

telekomunikasi. Pelaksanaan peran serta masyarakat diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
Lembaga seperti ini keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang
usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi. Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

II.8. Penanggungjawab Administrasi Telekomunikasi
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi Internasional, yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara yang diwakili oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, Administrasi Telekomunikasi melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi Telekomunikasi Internasional dan peraturan yang menyertainya. Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak dan kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan yang ditetapkan Intelsat (Internasional Telecommunication Satellite Organization) dan Inmarsal (Internasional Maritime Satellite Organization) serta perjanjian internasional di bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.

II.9. Penyelenggara Telekomunikasi
Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi (a) penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
(b) penyelenggaraan jasa telekomunikasi; dan (c) penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan, pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus instansi pemerintah tertentu / swasta.
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
• melindungi kepentingan dan keamanan negara;
• mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
• dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
• peran serta masyarakat
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
• Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
• Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
• Badan Usaha Swasta; atau
• Koperasi.
Sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh:
• Perseorangan,;
• Instansi pemerintah;
• Badan Hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
Untuk mengatur lebuh lanjut tentang ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada




70

pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Penyelenggara telekomunikasi khusus dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk keperluan sendiri, keperluan pertahanan keamanan negara, dan keperluan penyiaran. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus ini terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan; (a) perseorangan; (b) instansi pemerintah; (c) dinas khusus; dan (d) badan hukum. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan adalah penyelenggaraan telekomunikasi guna memenuhi kebutuhan perseorangan, misalnya amatir radio dan komunikasi radio antarpenduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung pelaksanaan tugas- tugas umum instansi pemerintah misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi pemerintah daerah. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas yang bersangkutan antara lain, kegiatan navigasi, penerbangan, atau meteorologi. Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk badan hukum adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Swasta, atau Koperasi, misalnya telekomunikasi perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau telekomunikasi perkeretaapian.
Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi selanjutnya masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

II.10. Larangan Praktek Monopoli
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi. Pengaturan yang demikian dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya. Larangan seperti ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya.

II.11. Perizinan
Penyelenggaraan telekomunikasi dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri. Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi ini dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas daerah atau wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Di samping itu, penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan. Namun demikian, penyelenggaraan telekomunikasi guna keperluan eksperimen diberi izin khusus untuk jangka waktu tertentu.
Proses perizinan diberikan dengan memperhatikan tata cara yang sederhana, proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif, dan penyelesaian dalam waktu yang singkat. Bagaimana tata cara dan prses selanjutnya mengenai perizinan ini masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

II.12. Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah. Yang dimaksud dengan memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah adalah kemudahan yang diberikan kepada penyelenggara telekomunikasi. Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan ini berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar. Pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari



71

instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Instansi pemerintah yang dimaksud adalah instansi yang secara langsung menguasai, memiliki, dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan.
Untuk memudahkan penyelenggaraan pembangunan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak. Yang dimaksud dengan perseorangan adalah orang seorang dan atau badan hukum yang secara langsung menguasai, memiliki dan atau menggunakan tanah dan atau bangunan yang dimanfaatkan atau dilintasi. Namun demikian, dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap hak milik perseorangan, maka pemanfaatannya harus mendapat persetujuan para pihak.
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi. Ganti rugi yang dimaksud adalah penyelenggara telekomunikasi diberikan kepada pengguna atau masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau kesalahan penyelenggara telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi, kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya. Penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan cara melalui meditasi atau arbitrase atau konsiliasi. Cara-cara tersebut dimaksudkan sebagai upaya bagi para pihak untuk mendapatkan penyelesaian dengan cara cepat. Apabila penyelesaian ganti rugi melalui cara tersebut di atas tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui pengadilan. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. Kewajiban pelayanan universal (universal service obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi. Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah memperhatikan prinsip ketersediaan pelayanan jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan mutu yang baik dan tarif yang layak. Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil, dan atau daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal. Penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya di luar kedua jenis jasa di atas diwajibkan memberikan kontribusi. Kontribusi pelayanan universal ini berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain. Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban pelayanan unversal adalah kontribusi biaya untuk pembangunan yang dibebankan melalui biaya interlokal. Ketentuan kontribusi pelayanan universal masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip
• perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
• peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
• pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.

Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi. Pencatatan pemakaian jasa



72

telekomunikasi merupakan kewajiban penyelenggara yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan berlaku hanya untuk pelayanan jasa telepon Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) sepanjang diminta oleh pengguna jasa telekomunikasi. Perekaman pemakaian jasa telekomunikasi adalah rekaman rincian data tagihan (billing), yang digunakan untuk membuktikan pemakaian jasa telekomunikasi. Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya. Ketentuan mengenai pencatatan atau perekaman pemakaian jasa telekomunikasi masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain dari kewajiban sebagaimana diurai di atas, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi. Bila jaringan telekomunikasi terhubung dengan beberapa jaringan lain yang menyelenggarakan jasa yang sama, maka pengguna jaringan tersebut harus dijamin kebebasannya untuk memiliki salah satu dari jaringan yang terhubung tadi melalui penomoran yang ditentukan. Pada dasarnya pengguna berhak memiliki penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi untuk menyalurkan hubungan telekomunikasinya. Dalam pelaksanaannya penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat mengubah rute hubungan dari pengguna jaringan penyelenggara lain tanpa sepengetahuan pengguna. Apabila terjadi, hal di atas bertentangan dengan prinsip persaingan sehat yang dapat merugikan baik bagi penyelenggara maupun bagi pengguna.
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut;
• keamanan negara;
• keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
• bencana alam;
• marabahaya; dan atau
• wabah penyakit.
Pengiriman informasi adalah tahap awal dari proses bertelekomunikasi, yang dilanjutkan dengan kegiatan penyaluran sebagai proses antara dan diakhiri dengan kegiatan penyampaian informasi untuk penerimaan pihak yang dituju. Prioritas pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi yang akan ditetapkan oleh pemerintah antara lain berita tentang musibah.
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :
• akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
• akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
• akses ke jaringan telekomunikasi khusus.



II.13. Penomoran
Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran. Ketentuan ini dimaksudkan agar kebutuhan atas penomoran dari penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi serta penggunanya dapat dipenuhi secara adil dan selaras dengan ketentuan internasional. Nomor adalah rangkaian tanda dalam bentuk angka terdiri atas kode akses dan nomor pelanggan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu alamt pada jaringan atau pelayanan telekomunikasi. Penomoran adalah sumber daya terbatas dan oleh karena itu sistem penomoran diatur oleh Menteri secara adil. Penomoran pada jaringan telekomunikasi terkait dengan teknologi dan ketentuan internasional. Karena itu ditegaskan bahwa sistem



73

penomoran ini ditetapkan oleh Menteri. Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran.

II.14. Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. Pelaksanaan hak dan kewajiban ini dilakukan berdasaran prinsip :
• pemanfaatan sumber daya secara efisien;
• keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
• peningkatan mutu pelayanan; dan
• persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan. Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan dan merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara. Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi ini akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

II.15. Tarif
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan komunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputi struktur dan jenis tarif ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan struktur dan jenis tersebut, penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan besaran tarif. Struktur tarif terdiri atas biaya pasang baru
(aktivasi), biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan, dan biaya jasa tambahan
(feature). Jenis tarif terdiri atas tarif pulsa lokal, tarif pulsa Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ), tarif Sambungan Langsung Internasional (SLI) dan air time untuk jasa sambungan telepon bergerak.
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan komunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Formula yang dirancang ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.

II.16. Telekomunikasi Khusus
Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya. Larangan bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi ruang lingkup penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang memang hanya untuk keperluan sendiri.






74

Sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan penyiaran dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi setelah mendapat izin Menteri. Syarat-syarat untuk mendapatkan izin diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah, maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan penyelenggaraan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukan dan kesinambungan pelayanan kepada pengguna. Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya. Untuk keperluan pertahanan keamanan negara, fasilitas telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya dapat dimanfaatkan. Penggunaan atau pemanfaatan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan sepanjang jaringan telekomunikasi untuk keperluan pertahanan keamanan negara, yang dalam hal ini oleh Tentara Nasional Indonesia, tidak dapat berfungsi atau tidak tersedia. Dalam hal negara dalam keadaan bahaya tertentu ketentuan ini tidak berlaku.

II.17. Perangkat Telekomunikasi, Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi merupakan syarat yang diwajibkan terhadap alat/perangkat telekomunikasi agar pada waktu dioperasikan tidak saling mengganggu alat/perangkat telekomunikasi lain dan atau jaringan telekomunikasi atau alat/perangkat telekomunikasi. Persyaratan teknis dimaksud lebih ditujukan terhadap fungsi alat/perangkat telekomunikasi yang berupa parameter elektris/elektronis serta dengan memperhatikan pula aspek di luar parameter elektris/elektronis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya, misalnya lingkungan, keselamatan dan kesehatan. Untuk menjamin pemenuhan persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi, setiap alat atau perangkat telekomunikasi dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oleh pemerintah atau institusi yang berwenang. Ketentuan persyaratan teknis memperhatikan standar teknis yang berlaku secara internasional, mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan harus berdasarkan pada teknologi yang terbuka. Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi ini masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah. Pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit didasarkan kepada ketersediaan spektrum frekuensi radio yang telah dialokasikan untuk



75

keperluan penyelenggaraan telekomunikasi termasuk siaran sesuai peruntukannya. Tabel alokasi frekuensi radio disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara transparan. Apabila ketersediaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tidak memenuhi permintaan atau kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi, maka perolehan izinnya antara lain dimungkinkan melalui mekanisme pelelangan.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling menggangu. Frekuensi radio adalah jumlah getaran elektromagnetik untuk 1 (satu) periode, sedangkan spektrum frekuensi radio adalah kumpulan frekuensi radio. Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh 1 (satu) pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah getaran dan lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu. Frekuensi dalam telekomunikasi digunakan untuk membawa atau menyalurkan informasi. Dengan demikian agar informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa gangguan maka penggunaan frekuensinya harus diatur. Pengaturan frekuensi antara lain mengenai pengalokasian pita frekuensi dan peruntukannya. Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit. Orbit satelit geostasioner, orbit satelit rendah dan orbit satelit menengah. Orbit satelit geostasioner adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang disebabkan oleh gaya gravitasi bumi yang mempunyai kedudukan tetap terhadap bumi. Orbit satelit geostasioner berada di atas khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 km. Orbit satelit rendah dan menengah adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang kedudukannya tidak tetap terhadap bumi. Ketinggian orbit satelit rendah sekitar 1.500 km dan orbit satelit menengah sekitar
11.000 km.
Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit. Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diiatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi. Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan.
Demikian halnya dengan pengguna orbit satelit juga wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit. Ketentuan mengenai biaya hak penggunaan frekuensi dan orbit satelit masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis. Yang dimaksud dengan wilayah perairan Indonesia adalah wilayah laut teritorial termasuk perairan dalam. Dengan demikian, pengertian ini menjangkau konsepsi negara kepulauan sebagaimana diakui dalam Konvernsi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional yang selanjutnya telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985. Karena kapal berbendera asing tersebut telah dilengkapi dengan perangkat telekomunikasi yang pemasangan dan pengoperasiannya mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya, maka ketentuan tentang persyaratan teknis yang ditetapkan menteri tidak dapat diterapkan kepadanya. Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut di wilayah perairan Indonesia tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kccuali :




76

• untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
• disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
• merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah perairan Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi. Dinas bergerak pelayaran (maritime mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun pantai dan stasiun kapal, antarstasiun kapal, antarstasiun komunikasi pelengkap di kapal, stasiun kendaraan penyelamat, atau stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat. Ketentuan ini hanya berlaku untuk kapal sipil dan tidak berlaku bagi kapal milik Tentara Nasional Indonesia.
Ketentuan mengenai pengunaan spektrum frekuensi radio ini masih akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis yang sudah ditetapkan menurut undang-undang ini. Ketentuan teknis tentang perangkat telekomunikasi yang ditetapkan Pemerintah tidak dapat diterapkan kepada pesawat udara asing karena pesawat udara asing tersebut mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya. Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali :
• untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas penerbangan; atau
• disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
• merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah udara Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi. Dinas bergerak penerbangan (aeronautical mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun penerbangan dan stasiun pesawat udara, antarstasiun pesawat udara yang juga dapat mencakup stasiun kendaraan penyelamat, dan stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat. Dinas tersebut beroperasi pada frekuensi yang ditentukan untuk marabahaya dan keadaan darurat.
Ketentuan mengenai pengunaan spektrum frekuensi radio lebih lanjut masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik. Asas timbal balik yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah asas dalam hubungan internasional untuk memberikan perlakuan yang sama kepada perwakilan diplomatik asing di Indonesia sebagaimana perlakuan yang diberikan kepada perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan.









77

II.18. Pengamanan Telekomunikasi
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa :
• tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
• tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
• penggunaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku;
• penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi lainnya; atau
• penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis yang tidak dikehendaki suatu penyelenggaraan telekomunikasi.
Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi. Kegiatan pengamanan telekomunikasi dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi yang dimulai sejak perencanaan pembangunan sampai dengan akhir masa pengoperasiannya. Lingkup perencanaan pembangunan termasuk antara lain rancang bangun dan rekayasa, yang harus memperhitungkan perlindungan dan pengamanan terhadap gangguan elektromagnetik, alam, dan lingkungan. Dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan instalasi penyelenggara mengikutsertakan masyarakat dan berkoordinasi dengan pihak yang berwenang.
Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rekaman informasi antara lain rekaman percakapan antarpihak yang bertelekomunikasi.
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakannya informasi yang dikirim dan atau diterima pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringn telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya. Untuk keperluan proses peradilan pidana yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan penyidangan, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
• prmintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5
(lima) tahun ke atas, seumur hidup atau mati.
• permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, misalnya Undang-undang tentang Narkoba dan tindak pidana yang sesuai dengan Undang-undang tentang Psikotropika.
Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi ini masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.




78

Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi dan untuk kepentingan proses peradilan pidana, tidak merupakan pelanggaran terhadap larangan melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

II.19. Penyidikan
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departmen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi. Penyidik Pegawai Negeri Sipil ini berwenang :
• melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
• melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
• menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;;
• memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
• melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
• menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
• menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
• meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
• mengadakan penghentian penyidikan.
Kewenangan penyidikan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
Hukum Acara Pidana.

II.20. Sanksi Administratif
Ada dua belas ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi peringatan tertulis. Pengenaan sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi. Keduabelas alasan yang dapat dikenai sanksi administratif itu adalah terhadap:
1. setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak memberikan kontribusi dalam pelayanan;
2. penyelenggara telekomunikasi tidak memberikan catatan atau rekaman yang diperlukan pengguna;
3. penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
4. penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum;
5. penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;
6. penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosesntase pendapatan;
7. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara yang menyambungkan telekomunikasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya;



79

8. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara telekomunikasi lainnya tetapi tidak digunakan untuk keperluan penyiaran;
9. pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak mendapat izin dari
Pemerintah;
10. pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan yang saling menggaggu.
11. Pengguna spektrum frekuensi radio yang tidak membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
12. Pengguna orbit satelit yang tidak membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.

II.21. Ketentuan Pidana
Ada 11 (sebelas) ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat diancamkan kepada penyelenggara telekomunikasi. Kesebelas ketentuan ini adalah sebagai berikut.
1. Barangsiapa yang menyelenggarakan penyelenggaraan telekomunikasi tanpa izin dari Menteri , dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000. (enam ratus juta rupiah).
2. Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah);
3. Penyelenggara telekomunikasi yang tidak memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut kemanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, marabahaya, dan atau wabah penyakit, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
4. Barang siapa yang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi dan atau akses ke jasa telekomunikasi, dan atau akses ke jaringan telekomunikasi khusus, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
5. Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan khusus dan untuk keperluan pertahanan dan kemanan negara yang menyambungkan tekemonukasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi khusus lainnya, dan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara telekomunikasi lainnya tetapi tidak untuk keperluan penyiaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
6. Barangsiapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan tidak berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
7. Barangsiapa yang menggunakan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tanpa izin dari Pemerintah dan tidak sesuai dengan peruntukkannya serta saling mengganggu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Apabila tindak pidana ini mengakibatkan mestinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
8. Barangsiapa (Kapal Berbendera Asing) yang berada di wilayah perairan Indonesia dan Pesawat Udara Sipil Asing dari dan dan ke wilayah udara Indonesia menggunakan spektrum frekuensi radio di luar peruntukannya, kecuali untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang



80

berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
9. Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,-
(enam ratus juta rupiah).
10. Barangsiapa yang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
11. Penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana diuraikan di atas dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesebelas perbuatan pidana sebagaimana diuraikan di atas adalah kejahatan.

II.22. Ketentuan Peralihan
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajin menyesuaikan dengan Undang-undang ini. Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang- undang Nomor 3 Tahun 1989 masih berlaku. Badan Penyelenggara yang dimaksud adalah Badan Penyelenggara sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1989. Jangka waktu hak tertentu itu, dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara. Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah hak eksklusivitas untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal, Sambungan Langsug Jarak Jauh (SLJJ), dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara. Sejalan dengan jiwa Undang- undang ini yang akan mengakhiri monopoli di bidang telekomunikasi, Pemerintah dapat mempersingkat jangka waktu hak tertentu tersebut. Untuk mempercepat berakhirnya jangka waktu hak tertentu dilakukan melalui cara dan persyaratan yang disepakati bersama, dengan memperhatikan prinsip kejujuran dan keadilan serta keterbukaan (fairness), misalnya dengan pemberian kompensasi.






















81



BAB LIMA
Undang-undang Telekomunikasi
Pengaturan Setengah Hati



A. Catatan Umum
Menarik sekali rasanya menutup seluruh rangkaian ulasan ini dalam sebuah pernyataan yang menggugah, yaitu ternyata Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi merupakan pengaturan setengah hati. Mengapa penulis sampai pada pernyataan ini ? Ada beberapa alasan yang dikemukakan dalam memberikan alasan pembenar bagi pernyataan ini.

B. Catatan Kritis
B.1. Dibahas terburu-buru dan tidak tuntas
Jika diamati proses dan mekanisme serta waktu yang dibutuhkan dalam membahas RUU Telekomunikasi, dapat dikatakan pembahasannya terkesan dipaksakan dan terburu-buru, sekalipun sesungguhnya Draft RUU Telekomunikasi itu sudah sangat lama dipersiapkan. Draft sudah disiapkan sejak Kabinet Reformasi Pembangunan, sampai memasuki Draft R.13 dan dilanjutkan pada Kabinet Persatuan Nasional. Keterburu-buruan ini juga diakibatkan adanya desakan dari pihak asing untuk segera mengakhiri monopoli dan duopoli penguasaan telekomunikasi di Indonesia. Apalagi, telekomunikasi sudah menjadi salah satu bagian komoditas yang diperdagangkan secara bebas dan tidak terpisahkan dalam sistem perdagangan global seturut konsep General Agreement on Trade and Services (GATS) yang memang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Dengan demikian, penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan prinsip perdagangan global harus menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif. Padahal Undang-undang Nomor 3
Tahun 1989 tentang Telekomunikasi yang ada masih sangat diskrikimatif. Keterburu- buruan itu terutama terlihat dari adanya pemaksaan pembahasan RUU Telekomunikasi ke DPR RI di saat-saat masa bakti anggota DPR RI habis. Dan memang kenyatannya demikianlah adanya, bahwa ternyata RUU Telekomunikasi adalah karya paling akhir Komisi IV DPR RI ---yang memang membidangi masalah telekomunikasi ini. Bagaikan gayung bersambut, Komisi IV DPR RI mampu menjamin akan menyelesaikan pembahasan RUU Telekomunikasi yang terdiri dari 19 Bab dan 64 Pasal dan didistribusikan ke dalam 365 Daftar Isian Masalah diselesaikan dengan sistem cepat dan hanya memakan waktu kerja 13 hari. Mengapa begitu cepat ? Setelah ditelusuri dengan cermat, ternyata memang masalah materi bahasan RUU Telekomunikasi ini tidak sulit karena “kelihatannya” diyakini bahwa segala sesuatu yang lebih diteil akan didelegasikan ke Peraturan Pemerintah. Dan memang demikianlah adanya, ternyata Komisi IV DPR RI dan Pemerintah sepakat untuk mendelegasikan berbagai persoalan materi muatan pengaturan RUU Telekomunikasi ke dalam 19 buah Peraturan Pemerintah dan 4 buah Keputusan Menteri. Tentulah tidak harus sebanyak 19 buah peraturan pemerintah, tetapi barangkali cukup 3 atau 4 buah saja.
Kesembilanbelas materi muatan UU Telekomunikasi yang masih harus diatur dalam
Peraturan Pemerintah, adalah:
1. ketentuan mengenai tata cara peranserta masyarakat dan pembentukan lembaganya;
2. ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi;
3. ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi;
4. ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi;



82

5. ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi;
6. ketentuan mengenai pelayanan universal;
7. ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi;
8. ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, ha dan kewajibannya;
9. ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi;
10. ketentuan mengenai tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
11. ketentuan mengenai syarat-syarat untuk medapatkan izin telekomunikasi khusus;
12. ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara yang belum mampu mendukung kegiatannya, dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan penyelenggara telekomunikasi lainnya;
13. ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi;
14. ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi;
15. ketentuan mengenai biaya pengguna spektrum frekuensi radio dan pengguna orbit satelit;
16. ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio yang digunakan kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia;
17. ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia;
18. ketentuan mengenai pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi; dan
19. ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi. Keempat materi muatan UU Telekomunikasi yang masih harus diatur dalam Keputusan menteri adalah:
1. ketentuan tentang izin penyelenggaraan telekomunikasi;
2. ketentuan mengenai sistem penomoran;
3. ketentuan mengenai besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi; dan
4. ketentuan mengenai izin bagi penyelenggara telekomunikasi khusus dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebelum tersedianya akses di daerah tertentu.
Materi muatan RUU Telekomunikasi yang tersebar di 64 pasal, sesungguhnya hanya mengatur tentang 19 materi pokok, yaitu tentang:
1. Ketentuan Umum
2. Asas dan Tujuan
3. Pembinaan
4. Penyelenggaraan secara Umum
5. Penyelenggara telekomunikasi
6. Larangan Praktek Monopoli
7. Perizinan
8. Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
9. Penomoran
10. Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
11. Tarif
12. Telekomunikasi Khusus
13. Perangkat Telekomunikasi, Sepktrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit
14. Pengamanan Telekomunikasi
15. Penyidikan
16. Sanksi Administratif
17. Ketentuan Pidana
18. Ketentuan Peralihan, dan



83

19. Ketentuan Penutup.
Dari sembilanbelas materi muatan yang diatur dalam RUU Telekomunikasi ternyata yang tuntas dirumuskan tanpa didelegasikan ke Peraturan Pemerintah dan atau Keputusan Menteri hanyalah mengenai:
1. Ketentuan Umum
2. Asas dan Tujuan
3. Penyidikan
4. Sanksi Administratif
5. Ketentuan Pidana, dan
6. Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Keenam materi ini, sama sekali tidak menyentuh isi persoalan pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi.

B.2. Badan Regulasi dalam RUU Telekomunikasi: Janji Manis !
RUU Telekomunikasi sesungguhnya menjanjikan suatu harapan yang bagus. Hal ini secara tegas terlihat dari rumusan Pasal 4, yang menegaskan bahwa “telekomunikasi dikuasai negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta global.” Selanjutnya Penjelasan Pasal 4 ayat (2) menegaskan bahwa fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi. Dengan rumusan ini, jelas terlihat adanya “janji manis” dari Menteri bahwa sesuai dengan perkembangan keadaan ----tentu terserah pandangan dan kebaikan hati sang Menteri--- bahwa fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi. Pertanyaannya, kapan ? Tentulah jawabannya sangat berpulang kepada pandangan subjektif sang Menteri. Bisa hari ini, bisa besok, bisa bulan depan dan tentu bisa juga kapan-kapan !

B. 3. RUU Telekomunikasi vs UU Antimonopoli
Jika diperbandingkan antara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli), khususnya Pasal
51 dengan Undang-undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya pada upaya pengakhiran monopoli, ternyata ditemukan korelasi yang erat. Dalam UU Telekomunikasi secara tegas dinyatakan bahwa tujuan utama menggantikan undang- undang telekomunikasi adalah untuk mengakhiri sistem monopoli yang dilakoni selama ini. Namun demikian, berdasarkan Pasal 51 UU Antimonopoli secara tegas dinyatakan bahwa
“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah”. Artinya, berdasarkan UU Antimonopoli sesungguhnya monopoli masih sangat legal. Sebaliknya, UU Telekomunikasi sudah mengakhirinya, dengan menyatakan bahwa pemain di bidang telekomunikasi, baik jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyiaran yang seturut Pasal 33 masuk kategori “menguasai hajat hidup orang banyak” terbuka luas tanpa perlu lagi berhubungan dengan BUMN atau Pemerintah. Bagaimana ini bisa terjadi ? Bagaimana mungkin ada dua undang-undang mengatur hal yang sama tetapi saling bertentangan ? Bagaimana mensikapi aturan main yang demikian ? Jika dirunut UU Antimonopoli, maka undang-undang ini akan efektif berlaku tanggal 5 Maret tahun 2000, sedangkan UU Telekomunikasi akan efektif berlaku tanggal 8
September 2000. Itu berarti bahwa monopoli masih dimungkinkan berlangsung sampai



84

dengan tanggal 8 September 2000. Memang dapat disampai alasan untuk berkilah secara asas hukum, jika ada dua undang-undang yang mengatur hal yang sama, maka undang- undang yang terakhirlah yang dinyatakan berlaku. Itu berarti UU Telekomunikasi !

B.4. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 vs UU Telekomunikasi
Persoalan hak asasi manusia mengakses komunikasi dan informasi secara tegas diatur dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 20 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Pasal 21 dengan tegas menyatakan pula bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 42 menegaskan bahwa hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketiga pasal ini hendak menyatakan tentang “hak asasi kebebasan mengakses informasi”. Adakah hubungan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dengan UU Telekomunikasi ? Jawabannya YA! Bahkan sesungguhnya secara penafsiran etimologis UU Telekomunikasi lebih tepat disebut dengan UU Informasi. Mengapa ? Sebab, UU Telekomunikasi secara tegas merumuskan bahwa yang dimaksud dengan telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap INFORMASI dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.27 Dengan memperhatikan rumusan ini, sebenarnya rumusan ini dibaca dengan benar selaras dengan judul undang-undangnya, maka UU Telekomunikasi adalah undang-undang yang mengatur tentang setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap INFORMASI dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Artinya, fokus penekanan terhadap materi muatan yang harus diatur dalam UU Telekomunikasi adalah SETIAP INFORMASI baik yang dipancarkan, yang dikirimkan dan atau yang diterima, baik dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Sayangnya, rumusan ini sama sekali tidak terjabarkan dengan lugas dan tuntas dalam batang tubuhnya, bahkan cenderung setengah hati, karena sama sekali hanya menyentuh soal ….. bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Artinya, yang diklaim untuk diatur hanyalah soal infrastructure-nya, sedangkan content-nya sama sekali tidak dijamah. Barangkali karena sungkan dengan Departemen Penerangan yang sudah terlanjur punya Undang-undang Nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran. Padahal toh akhirnya, asumsi ini bubar seiring dengan bubarnya Departemen Penerangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa UU Telekomunikasi sesungguhnya kehilangan arah dan makna, serta korelasi antara rumusan telekomunikasi itu sendiri dengan batang tubuhnya. Apalah artinya bicara tentang infrastructure-nya tanpa bicara content-nya. Bagaikan mengatur truck tanpa mengatur muatannya. Suatu hal yang tidak simultan. Padahal di dalam batang tubuhnya sudah diatur dengan tegas pembedaan antara penyelenggara jaringan telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi dan telekomunikasi khusus dan penyiaran. Artinya, muara akhir dari produk ini adalah informasi. Kenyataannya, UU Telekomunikasi sama sekali tidak “menyentuh” bahkan terkesan “mengharamkan” membahas informasi. Ini jelas terlihat dengan sangat gamblang karena UU Telekomunikasi sama sekali tidak mengacu dan menempatkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 sebagai rujukan hukum. Meski demikian Cetak Biru Telekomunikasi Indonesia mencoba menengahinya.
Lebih dari itu, rumusan telekomunikasi dalam UU Telekomunikasi juga bertabrakan dengan rumusan penyiaran sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran. Dalam UU Penyiaran dirumuskan bahwa yang dimakasud dengan penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana


27 Pasal 1 angka 1 UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.



85

transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan gelombang elektromagnetik, kabel, serat optik, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima oleh masyarakat dengan pesawat penerima siaran radio dan/atau pesawat penerima siaran televisi, atau perangkat elektronik lainnya dengan atau tanpa alat bantu. Apakah yang dimaksud dengan siaran ? Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, dan karakter lainnya yang dapat diterima melalui pesawat penerima siaran radio, televisi atau perangkat elektronik lainnya, baik yang bersifat interaktif maupun tidak dengan atau tanpa alat bantu. Adakah perbedaan yang menonjol dengan apa yang dirumuskan dalam pengertian telekomunikasi dalam UU Telekomunikasi ? Sama sekali tidak ! Justru yang terlihat adalah adanya tumpang tindih rumusan dan kandungan rumusan antara telekomunikasi dan penyiaran. Bahkan jika dihubungkan pada prinsip utama yang diatur di dalam kedua undang-undang ini, yaitu Lembaga Pemberi IZIN, maka ternyata kedua undang-undang saling tumpang tindih dan saling “kudeta”. Artinya, persoalan ini dimulai dari “pertengkaran yang sangat seru” antara Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1989 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pertempuran itu lebih dititikberatkan pada persoalan lisensi frekuensi. Siapakah yang berhak memberikannya ? Atau masuk kavling siapakah masalah lisensi ini. Pasal 18 UU Nomor 24 Tahun 1997 secara tegas menyatakan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran termasuk penggunaan frekuensi, sarana pemancaran, dan sarana transmisi dikeluarkan oleh Menteri Penerangan setelah berkoordinasi dengan intansi terkait. Yang dimaksudkan dengan “berkoordinasi” adalah upaya bersama dengan instansi terkait melalui mekanisme perizinan satu atap untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat. Karena undang-undang ini mengatur, mengarahkan, membina dan mengendalikan penyiaran yang mempunyai kaitan erat dengan penggunaan frekuensi dan sarana pemancaran serta sarana transmisi, maka mekanisme perizinan satu atap sangat diperlukan. Sebaliknya Pasal 11 UU Nomor 36 Tahun 1999 secara tegas menyatakan pula bahwa penyelenggaraan telekomunikasi baik penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat diselenggarakan setelah mendapatkan izin dari Menteri (baca: Menteri Perhubungan karena dialah yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang telekomunikasi). Perizinan ini dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat.
Dapatkah kemudian dikatakan bahwa perdebatan ini seharusnya sudah berakhir seturut bubarnya Departemen Penerangan ? Dalam tataran kebijakan YA, tetapi dalam tataran peraturan perundang-undangan sama sekali TIDAK. Sebab, UU Nomor 24 Tahun
1997 tetap ada sepanjang belum diganti. Meskipun kemudian, orang bijak hukum menyatakan lagi, seturut asas hukum, maka UU Telekomunikasilah yang akan berlaku karena dialah yang paling akhir lahir. Persoalannya, ternyata tidak semudah ini, karena masalah turutan pengaturan lebih lanjut di lapangan tetap masalah dan harus diselesaikan. Apalagi materi muatan yang diatur dalam kedua undang-undang ini berbeda. Namun demikian, harapan tetap ada, yaitu dengan keluarkanya Keputusan Presiden Nomor 136 tahun 1999 yang mempersilahkan masalah penyiaran digabungkan ke Departemen Perhubungan. Sampai tulisan ini dibuat, direncanakan bahwa di Departemen Perhubungan akan dibentuk Direktorat Jenderal Penyiaran menggantikan Direktorat Jenderal radio Televisi dan Film Departemen Penerangan. Mudah-mudahan ini cara terbaik menyelesaikan masalah ini.

B.5. UU Telekomunikasi: Otoriter ?
Jika kemudian diuraikan lebih lanjut pengertian telekomunikasi sebagaimana diuraikan di atas dengan Pasal 4 ayat (1) UU Telekomunikasi, maka terkesan bahwa UU Telekomunikasi ini menganut paham otoriter. Ditegaskan bahwa telekomunikasi dikuasai Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Artinya, dipahami bahwa personifikasi Negara dalam hal ini disamakan dengan Pemerintah. Jika rumusan ini dibaca



86

berbarengan dengan pengertian telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1, maka setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap INFORMASI dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya dikuasai Negara. Apakah benar rumusan ini ? Misalnya hanya menelepon seseorang dikuasai Negara ? Jika benar, memang rumusan ini dipahami demikian, maka kesan otoriter melekat pada undang-undang ini. Sebab ternyata hanya persoalan setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap INFORMASI saja harus dikuasai Negara. Padahal pemahaman yang demikian sangat bertentangan dengan Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi, maka pemahaman yang demikian seharusnya sudah ditinggalkan. Yang seharusnya dikuasai negara bukanlah telekomunikasinya, tetapi spektrum gelombang elektromagnetik dan orbit satelit sebagaimana diamanat oleh Pasal 33 UUD 1945 sebagai sumber daya alam terbatas. Bagiakan rel kereta api dan kereta apinya. Maka yang dikuasai negara adalah relnya bukan kereta apinya, karena kereta apinya serahkan ke masyarakat ! Statemen ini adalah representasi dari ucapak Presiden KH Abdurrahman wahid, ketika belum lama menjadi Presiden saat memberikan komentar atas bubarnya Departemen Penerangan.
Karena itu, baiklah ditutup uraian ini dengan menyatakan bahwa proses demokratisasi yang mulai dibangun di negeri ini sejak tanggal 21 Mei 1998 yang lalu, mengajarkan kepada seluruh anak bangsa bahwa dibutuhkan waktu dan kesabaran untuk belajar berdemokrasi secara baik, secara benar, secara jujur, dan secara patriot. Partisipasi publik yang diberikan dalam rangka proses pembahasan RUU Telekomunikasi, sekalipun diberi angka “setengah hati” itu lebih dari cukup untuk memulai suatu karya lebih baik di kemudian hari. Semoga !

87. Daftar Rujukan

1. Notulensi Risalah Rapat Panitia Khusus RUU Telekomunikasi, Sekretariat Komisi IV DPR RI.
2. Keputusan Presiden Nomor KM 72 Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan
Pemerintah tentang Telekomunikasi Indonesia.
3. Daftar Isian Masalah RUU Telekomunikasi.
4. Pandangan Umum Fraksi-fraksi DPR RI tentang RUU Telekomunikasi.
5. Pandangan dam Masukan dari masyarakat dan asosiasi dalam Rapat Dengar Pendapat
Umum dengan Komisi IV DPR RI tentang RUU Telekomunikasi.
6. Draft RUU Telekomunikasi.

88. Lampiran

Tentang Penulis



I. Identitas Pribadi
• Hinca Ikara Putra Pandjaitan, SH, MH, lahir di Aeksongsongan, Asahan, Sumatera
Utara, 25 September 1964.
• Menyelesaikan SD, SMP, SMA di Kisaran, dan menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, tahun 1987. Menyelesaikan Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1992. Ahli Penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan tahun 1992 di PPLH Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ahli Perancang Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1996. Pernah menjadi Visiting Fellow di Griffith University, Queensland, Brisbane, Australia (1997).

II. Riwayat Aktivitas dan Pekerjaan
• Menjadi researcher volunteer Departemen Hukum WALHI (1993-1996).
• Mengajar di Fakultas Hukum Unika Santo Thomas Sumatera Utara (1992-1993).
• Mengajar di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta (1993-1999).
• Konsultan Hukum PT Datakom Asia (1998-sekarang).
• Konsultan Hukum dan Perundang-undangan PP PRSSNI (1999-sekarang).
• Media Law Ombudsperson INTERNEWS Indonesia (1999-sekarang).
• Menjadi peneliti pada Badan Pengkajian Hukum Nasional, Departemen Kehakiman sejak tahun 1995 sampai sekarang.
• Menjadi peserta International Conference: Media Enabling Environments in Transitional Settings, pada The Programme in Comparative Media Law and Policy Wolfson College Socio-legal Studies University of Oxford, 13-14 Oktober 1999.
• Melakukan studi perbandingan tentang Media Law di Rusia, 25 September 1999 sampai dengan 11 Oktober 1999.
• Menulis beberapa artikel di media massa nasional sejak tahun 1988 hingga sekarang.
• Menulis beberapa buku diantaranya AMDAL (1995), Hukum Waris Adat (1997), Alternative Dispute Resolution (1998), MEMASUNG TELEVISI (1999), Memahami UU Penyiaran (1999), Menggagas Perlindungan Jurnalis Radio Indonesia (ed.), (1999), Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah (2000).
• Pendiri SPAS Law Firm, 1998.
• Mengasuh Rubrik Konsultasi Hukum pada Majalah Mingguan Warta Ekonomi (1999).
• Menjadi Korsponden Lepas Majalah Mingguan Warta Ekonomi (1999-sekarang).
• Menjadi Guest Host pada acara Media Law Ombudsperson Internews-Radio MS TRI
(2000)
• Menjadi pembicara dalam beberapa seminar nasional.

III. Aktivitas lain
• Anggota Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (MASTEL)
• Anggota Perhimpunan Masyarakat HAKI
• Anggota Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia



Jakarta, 14 Desember 1999



Hinca IP Pandjaitan, SH., MH




89
Share |

Blog Archive

 

Langganan Via Email

Twitter icon facebook icon Digg icon Technorati icon facebook icon Delicious icon More share social bookmark service

Flag Counter

Blog Progress
Admin : Revolter Diehard
Blogger From : Indonesia, Jogjakarta
Status Now : Jangan Lupa Komentar and Follow "Blog Progress" ya, Tar Gw Pasti Komentar Balik

Sahabat Blog Progress